Makin ditelusuri dalam pelbagai referensi lama, tesis Boseke terkait leluhur Minahasa makin terverifikasi!  Beberapa ahli dulu ternyata telah memuat pelbagai dokumentasi baik catatan etnografis maupun berdasarkan penelitian, yang mendukung tesis dengan bukti temuan yg sangat  sulit dibantah.
Secara khusus temuan bahasa Minahasa sebagai bahasa dengan nilai susastra tinggi itu makin tersingkap. Secara filologi atau ilmu tentang bahasa kuno, bahasa Minahasa  adalah bahasa sastra klasik dari budaya agung Han (Weliam H. Boseke), yang diusulkan Dr. Benni E. Matindas disebut bahasa etik!
Prof. GMA Inkiriwang dalam L. Adam, Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa, 1976 mengutip peneliti bahasa Minahasa asal Eropa, Dr. Adriani yang pernah menyesalkan bahwa orang Minahasa meninggalkan bahasa leluhur yg mempunyai filologi yang tinggi.Â
Orang Minahasa pernah melihat bahasa Melayu sebagai jalan menuju kemajuan dalam pergaulan di Nusantara, lalu kembali ke bahasa Belanda untuk maju dalam ilmu pengetahuan, tapi sebenarnya mereka sudah punya bahasa leluhur sendiri yang sedemikian tingginya. (vide Prof. Perry Rumengan, 2020).
Bdk. Bahasa Melayu yg menjadi awal bahasa Indonesia, katakan saja sejak Sumpah Pemuda 1928. Bahasa Melayu masih terpelihara di wilayah Riau dan terutama di Malaysia sekarang yg sudah jauh tertinggal di belakang dari bahasa Indonesia modern. Dan bahasa Belanda tetap menjadi bahasa dunia tapi pemakainya tidak lebih banyak dari bahasa Indonesia modern sekarang.
Ironis, zaman sudah berubah, tapi masih banyak orangtua Minahasa bangga anak-anaknya belajar dengan bahasa Melayu, bahkan melayu pasar bukan melayu tinggi (pendidikan). Padahal sudah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa pergaulan di Indonesia!
Apakah orang Minahasa sudah latah dan tak tahu lagi mengapa  bahasa asing itu digandrungi orangtua doeloe?, dan sekarang sudah tak bisa membedakan lagi mana bahasa yg bisa membawa pada kemajuan pergaulan nasional bahkan internasional?
Bandingkan orang Minahasa dengan bahasa melayu Manado datang ke Jakarta, dia akan kecele sendiri dan kaget krn akan dianggap aneh dan norak oleh orang yg berdialek Jakarta! Apalagi oleh orang Jawa dan Sunda yg bangga dengan bahasa daerahnya!
Lebih baik kembali berbahasa Minahasa dalam pelbagai tuturnya yg masih ada...karena bahasa Melayu tak bisa cukup dipakai dalam pergaulan nasional!!
Belajarlah bahasa leluhur Minahasa itu, mumpung ada kesempatan. Sa rei tekan, kawisa? Sa rei Nikita, seipe? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?
Lupakan bahasa melayu pasar itu sebagai bahasa wajib jaman kolonial dahulu kala, atau cukup jadi bahasa yang kesekian, karena lebih baik belajarlah bahasa Indonesia itu sendiri sebagai bahasa pergaulan bahkan bahasa ilmu pengetahuan.