Dr. Velen Lumowa dalam beranda Opini (MP, 21/9/2020) menulis artikel "Elegi Komunisme di Tengah Pandemi", yang mengulas dengan kritis tawaran pemikiran filsuf neo-Marxisme dan kritikus budaya asal Slovenia, Slavoj Zizek, dalam buku terbarunya: Pandemic! Covid-19 Shakes the World.Â
Bukan soal kebaruan terbit buku itu yang dikritik Valen, tapi isi buku itu sendiri yang menawarkan sebuah komunisme baru di tengah pandemi dianggap terlalu dini dan lemah. Walaupun dia seorang filsuf yang kreatif dan ada banyak tulisannya terkait Pandemi Covid-19 ini memberi wawasan segar aktual.
Menurut Valen Lumowa sebagai doktor filsafat secara linear strata 123 yang aktif menuangkan gagasan pikirannya di banyak media cetak maupun online (karena itu terjaring dan diklaim sebagai tunas baru dari para pemikir filsafati tou Minahasa oleh tokoh Kawanua senior, Max F. Wilar, penggemar tulisan sosial dan filsafat, sejak studi kependetaan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta, sebelumnya STT), lewat buku terbarunya itu, Zizek berhasil menguak ironi yang tersembunyi dalam selubung pandemi global ini. Namun, proses identifikasi ini sendiri berakhir ironi.
Valen melanjutkan bahwa penemuan yang tak terelakkan dalam tulisan filsuf ini merujuk pada gema komunisme "baru". Â Zizek mendesaknya sebagai salah satu alternatif jawaban terhadap rekonstruksi sosial di masa pandemi.Â
Seiring dengan menguapnya jejak komunisme "lama", sebagai lawan tanding kapitalisme dan demokrasi liberal di abad ke-20, Zizek mengusulkan format baru komunisme. Gerakan konseptual ini, menurut Daniel J. Gunkel, mengadopsi proses Dekonstruksi.
Demikian sekilas pemaparan Lumowa dengan merujuk pada beberapa filsuf yang juga mengkritik iek. Filsuf ini yang pertama saya tahu infonya dari tulisan budayawan intelektual Reiner Omyot Ointoe, yang memposting tulisannya di grup Kawanua Informal Meeting, pada masa Paskah, masih sekitar euforia tafsir atas pandemi Covid-19 ini, dan beberapa hari lalu ada yang memposting di grup telegram grup ikatan alumni STF Seminari Pineleng (IKAL STFSP) gambar cover depan buku karyanya: Homodemic. Covid-19 vs Budaya, menanggapi tulisan Valen.
Silakan membaca isi penalaran lengkap dalam artikel yg dimuat di Manado Post tersebut. Saya tertarik pada rujukan kutipan pada akhir argumen kritis filsuf Kawanua ini yang mengutip penegasan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) tentang hakikat filsafat. Baginya, filsafat selalu "terlambat" sebagai pelayan bagi dunia demi menghadirkan instruksi yang tepat dalam menciptakan "tatanan yang seharusnya".Â
Sebagai interpretasi tentang dunia, filsafat muncul ketika sebuah fenomena telah mencapai kepenuhan aktualisasinya. Deskripsi elegen Hegel tentang kerja filsafat: "the owl of Minerva begins its flight only with the onset of dusk (Burung Sang Dewi Minerva terbang ketika senja hadir).
***
Saya teringat tiga tahun lalu dalam sebuah seminar dan bedah buku di Kalbis Institute Jakarta, pertama kali bertemu langsung dengan Dr. Benni E. Matindas, yg kemudian saya tahu dia adalah seorang budayawan intelektual kawanua yang mendalami pemikiran para filsuf dunia dan karena itu tulisan-tulisannya begitu mendasar dengan memberikan penalaran kritis dan menawarkan paradigma serta strategi perubahan tertentu (misalnya lihat buku best seller Negara Sebenarnya yang tebal dan monumental karya ciptanya itu menunjukkan keluasan dan kedalaman referensi pemikiran yang dilampauinya sendiri dan dengan berorientasi pada solusi destruksi sekaligus konstruksi strategis, baik secara teoretis maupun praktis).
Dalam satu bagian pemaparannya, Matindas memberi contoh local genius orang Minahasa terkait burung sang Dewi Minerva yg dipakai oleh sang filsuf besar itu.Â
Burung pilihan Minerva ini di Minahasa disebut MANGUNI, Ko'ko ni Mamarimbing! Artinya dari Han: "hewan peliharaan" dari si Opo Mamarimbing yang sangat kesohor dengan fenomena metafisis, yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi dan bagaimana menghindar atau mewujudkannya. Dalam cerita Zazanian Ni Karema, Mamarimbing ini tak lain adalah Zhuge adalah tokoh andalan Kaisar Liu Bei. Beliau adalah satu dari lima petinggi dinasti Shu Han yang disebut Ng ang yi (Ngangi = jadi fam Minahasa).Â