Mengapa semua jenis makanan dari daging hewani (darat, laut, udara) disebut oleh orang Manado dengan istilah: "ikang" atau ikan.Â
Misalnya menu "ikang ayam saos rica-rica" menunjuk pd menu makanan dari daging ayam dengan bumbu sambel pedas.
Bukankah seharusnya sebutan ikan itu pada umumnya menunjuk pada hewan yang hidup di air? Ikan air tawar, asin, payau, di laut maupun di darat.
Ternyata bahasa Melayu dialek Manado terkait sebutan ikan ini memang terpengaruh oleh bahasa Minahasa yang dipakai oleh mayoritas penduduk asli yang mendiami atau dominan di wilayah tersebut (se makatana=pemilik tanah)
Orang berbahasa Minahasa menyebut "sera" (ikan) untuk segala jenis hidangan makanan yang berbahan baku daging. Misalnya sera' wawi (babi), sera' ko'ko (ayam), sera' wio (babi hutan), dan ditambahkan keterangan jenis menu, misalnya sera' ko'ko bakar bulu (daging ayam dimasak di bambu), wawi tinorangsak (babi dimasak dengan pelbagai rempah, bisa dimasak di wajan atau dibakar di bambu), dst.Â
Hewan ikan dari laut dan darat tetap disebut sera dan bila sudah diolah menjadi makanan tetap disebut sera disertai nama ikan, misalnya sera pongkor (ikan gabus), sera' cakalang (ikan cakalang), dan jenis menu: sera' pongkor woku/goreng/kuah asang/garo rica.
Bila ditelusuri lebih jauh, merujuk pada hasil penelitian Weliam H. Boseke (dalam buku Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2018) darimana penggunaan dan pemaknaan kata  sera/ikang/ikan sedemikian, ternyata merujuk pada asal usul kata Minahasa yang berindukkan bahasa Han di Tiongkok Kuno.
Dalam bahasa Han: chÄ« ròu berarti "makan daging" atau dalam arti lain "daging ikan". Dalam perjalanan waktu di tanah Minahasa kata ini ditulis dalam alfabet Latin: sera' (dengan bunyi yang sesungguhnya masih mirip asalnya).Â
Menurut Weliam, ini adalah gejala bahasa (perubahan dan pergeseran kata/bunyi, bentuk dan arti) yang sangat mungkin dipengaruhi oleh bahasa-bahasa sekitar bahkan asing terutama sejak jaman kolonial yang memperkenalkan alfabetis Latin, tulisan dan lisan.Â
Karena tulisan ideografis tidak berkembang di tanah Minahasa, maka bahasa Minahasa dengan gampang dipengaruhi dan sekarang sudah memakai pendekatan bahasa multi silabel karena pengaruh kolonial yg memakai aksara Latin, padahal sesungguhnya bahasa asli dari Han berformat mono silabel yang sifatnya ideografis.Â
Karena itulah ditemukan banyak sekali kerancuan bahkan kekeliruan fatal sehingga tidak sinkron dalam penerjemahan tulisan2 tua yang beraksara Latin yang pada umumnya dituliskan atau direkam oleh orang berbahasa Eropa.Â
Termasuk banyak kata dan ungkapan yang menghilang atau tidak dipahami lagi. Misalnya penyebutan angka bilangan Minahasa sekarang (esa, rua, telu, papat, dst.) jelas adalah pengaruh Sansekerta atau Melayu. Weliam mengaku sudah menemukan sebagian kata asli itu dalam syair dan ungkapan yang masih dipakai oleh masyarakat adat, dengan bantuan komparatif linguistik.Â
Latinisasi bahasa Mandarin dalam cara Ping Yin atau Wade/Giles sangat membantu untuk menelesuri lebih jauh misteri bahasa Minahasa yang terancam punah padahal memiliki akar bahasa yg kemudian dipakai oleh 1 miliar lebih penduduk dunia.Â
Penelitian dan temua Weliam ini sungguh menggemparkan dan akan mengubah banyak persepsi tentang identitas dan budaya arkais di Nusantara bahkan dunia, bukan sekedar pemahaman dan pencerahan tentang kisah di balik sepiring menu Ayam Saos Rica ala Manado yang bisa ditemukan di hampir semua restoran kaki lima sampai berbintang.Â
Jangan hanya mau enak makan olahan segala jenis "ikang" ala Manado menggoda selera, tapi tak mau tahu dengan cerita di balik kata bahasa itu. Apa kata dunia? Ting... yummy, maknyus.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H