Mohon tunggu...
Stefanus Tjen
Stefanus Tjen Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Berproses Versus Budaya Instan

20 April 2018   08:32 Diperbarui: 20 April 2018   18:00 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemajuan suatu negara tentunya sangatlah bergantung kepada pendidikan dan kebudayaan daripada masyarakatnya. Mengapa? Karena dengan kualitas pendidikan yang baik mengubah cara berpikir dan luasnya wawasan seseorang. Sedangkan tingginya tingkat kebudayaan suatu masyarakat menentukan sikap dan karakter masyarakat tersebut.

Dahulu Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, memiliki semangat gotong royong dan toleransi yang tinggi. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda namun tetap satu jua menunjukkan kekuatan bangsa Indonesia melalui keberagaman suku dan budaya yang dimilikinya. Bagaimana bangsa ini dapat bertahan hingga saat ini tentunya juga tidak dapat dipandang sebelah mata.

Bagaimana dengan Indonesia saat ini? Arus kemajuan teknologi dan globalisasi saat ini banyak mengubah cara hidup manusia, cara berpikir kita dan juga budaya kita. Saat ini, kemajuan teknologi memberi kita banyak sekali kemudahan, semua serba instan. Namun, tanpa kita sadari, ternyata secara tidak langsung hal tersebut menjadi budaya instan yang melekat di masyarakat kita.

Instan disatu sisi bukanlah hal yang tidak baik dan merusak. Instan merupakan buah teknologi dimana tentunya semua senang jika dapat langsung melihat hasil tanpa melalui proses yang relatif lebih panjang dan makan waktu. Namun, jika kita menekankan pada instan dengan mengabaikan proses tentunya hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Dunia pendidikan pun tidak terlepas dari budaya instan tersebut. Dengan sekolah tergiring dengan pemikiran instan tersebut, sekolah lupa dan mulai mengabaikan proses.

Sebagai contoh, ada sekolah dengan mudah mengeluarkan siswa yang melakukan kesalahan dan mengabaikan proses mendidik siswa yang bersalah tersebut untuk akhirnya kembali ke jalan yang benar, ada guru dengan mudah langsung memberikan ujian remedial untuk menuntaskan nilai siswa dan mengabaikan proses untuk mengajar anak tersebut agar mengerti dengan materi pelajarannya, dan masih banyak contoh lainnya.

Apakah sekolah tidak tahu bahwa perlu proses, perlu kesempatan, perlu usaha untuk mendidik siswa yang melakukan kesalahan tersebut untuk berubah? Apakah guru tidak tahu bahwa perlu proses mendidik siswa untuk tekun belajar, mengulangi kembali untuk mengerti suatu materi pelajaran dan bukan kepada hanya fokus agar nilai tuntas dengan cepat / instan? Tentu jawabnya tahu, hanya saja lupa.

Apakah benar karena lupa? Saya kira lebih kepada semua berpikir ingin cepat pada hasil (instan). Sebuah pandangan yang menyedihkan, bagaimana sekolah dan guru yang seharusnya menjadi teladan kebenaran bagi murid-murid juga mulai terpengaruh dengan budaya instan yang salah, terlebih malah menularkan contoh budaya instan yang salah tersebut kepada murid-murid.

Pendidikan tidak boleh mengabaikan proses. Sekolah harus mengajarkan siswa-siswi untuk berpikir, mengapa begini? Mengapa begitu? Berawal dari pemikiran demikian, sekolah perlu mendorong mereka untuk bagaimana melakukan proses tersebut. Dengan demikian, sekolah dapat berhasil mengajar siswa-siswi dalam pelajaran dengan melewati serangkaian proses, sekolah dapat berhasil mendidik perilaku dan karakter siswa-siswi dengan melewati proses mendidik. Proses itu penting!

Namun, Apakah semudah itu? Budaya instan yang salah ini sudah menjalar ke semua lini kehidupan masyarakat. Pada pemerintahan, kita dapat menemukan terkadang muncul aturan-aturan pemerintah yang berbau budaya instan ini, yang hanya memberikan solusi sementara, dengan mengabaikan bahwa perlu ada proses yang dilakukan. Kita perlu pemerintah yang dapat merancang sebuah aturan yang berproses dan berkelanjutan sehingga memberi solusi yang komprehensif untuk jangka waktu yang panjang.

Pada keluarga, sudah banyak contoh orang tua yang sibuk dengan dirinya dan mengabaikan pendidikan keluarga untuk anak-anak mereka. Banyak orang tua saat ini ingin instan, semua tinggal dibayar dengan uang. Banyak orang tua yang hanya tau bekerja dan berharap pulang kerja mereka menemukan anak-anak mereka sudah menjadi anak-anak yang pintar, berkarakter baik, berakhlak mulia.

Mereka lupa bahwa semua itu tidak dapat terjadi secara instan. Mereka lupa bahwa perlu peran mereka sebagai orang tua untuk melalui proses mendidik anak-anak mereka sendiri, bagaimana orang tua bercengkrama dengan anak mereka dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan, bagaimana orang tua lewat beribadah bersama menuntun anak-anak untuk mengenal Penciptanya.

 Membangun pendidikan dan budaya bangsa Indonesia yang kuat perlu kerjasama semua pihak. Untuk itu marilah semua elemen bangsa ini, bersama-sama bergandengan tangan untuk mengatasi persoalan bangsa ini. Kita dapat mulai dengan sikap kita yang tidak mendahulukan hasil akhir dengan instan namun mendahulukan bagaimana menjalani prosesnya dengan baik.

Kita semua dapat berkontribusi sesuai dengan bagian kita masing-masing. Marilah kita kembali mengingat budaya toleransi, gotong royong yang dahulu begitu kental terasa. Marilah kita kembali melihat wajah sesama kita, bukan melulu melihat perangkat ponsel pintar kita. Dengan berfokus pada proses, kita dapat membentuk pendidikan yang kuat, pendidikan yang memajukan masyarakat Indonesia, pendidikan yang membentuk budaya hebat. Marilah kita jangan hanya berwacana, namun lakukan apa yang kita bisa! Maju Bangsaku, Indonesia Jaya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun