Meskipun penuh dengan keresahan, dunia maya juga menawarkan harapan. Sebagai contoh, gerakan sosial seperti #MeToo dan Black Lives Matter menunjukkan bagaimana komunitas daring dapat menggerakkan solidaritas global dan mendorong perubahan sosial yang nyata. Platform digital memungkinkan individu yang terpinggirkan untuk berbicara dan mendapatkan dukungan dari audiens yang lebih luas. Ia adalah ruang di mana gerakan sosial dapat lahir dan tumbuh, di mana suara-suara yang terpinggirkan dapat didengar, dan di mana manusia dapat menciptakan komunitas baru yang melampaui batasan geografis.
Antropologi digital mendorong kita untuk melihat dunia maya bukan hanya sebagai sumber masalah tetapi juga sebagai peluang untuk memahami manusia dengan cara baru. Dunia maya adalah laboratorium besar tempat kita dapat mempelajari bagaimana budaya, identitas, dan hubungan manusia berkembang di bawah pengaruh teknologi. Salah satu cara untuk mengurangi keresahan di dunia maya adalah dengan mempraktikkan "kesadaran digital" berarti menjadi lebih sadar tentang bagaimana kita menggunakan teknologi, memahami dampaknya terhadap kehidupan kita, dan membuat pilihan yang lebih bijak. Dalam konteks ini, antropologi digital dapat menjadi alat yang berguna untuk mengeksplorasi bagaimana praktik-praktik budaya baru dapat membantu manusia beradaptasi dengan dunia yang terus berubah.
Penutup: Manusia dalam Dunia yang Berubah
Keresahan manusia terhadap dunia maya adalah refleksi dari proses adaptasi budaya yang belum selesai. Kita masih belajar bagaimana hidup dalam dua dunia sekaligus, bagaimana membangun hubungan yang bermakna di ruang digital, dan bagaimana menjaga keseimbangan antara kebebasan dan kendali. Antropologi digital menawarkan sudut pandang yang membantu kita memahami keresahan ini bukan sebagai sesuatu yang harus dihindari, melainkan sebagai bagian dari perjalanan evolusi budaya manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Daniel Miller dalam studinya "Digital Anthropology" (2012), dunia maya memberikan wawasan tentang bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan teknologi, sekaligus menggambarkan kompleksitas interaksi sosial di era digital. Dengan memahami akar keresahan tersebut, kita dapat menciptakan cara-cara baru untuk hidup, berinteraksi, dan menemukan makna dalam dunia yang semakin terkoneksi. Pada akhirnya, dunia maya bukanlah musuh melainkan cerminan kompleksitas manusia itu sendiri penuh dengan potensi, kontradiksi, dan keajaiban.Â
Referensi:
Miller, D. (2012). Digital anthropology. Oxford: Berg.
Morten, P. (2024, April 25). Technological Influences on Behavior: Insights and Implications - iMotions. https://imotions.com/blog/learning/research-fundamentals/technological-influences-on-behavior-insights-and-implications/
Pew Research Center. (2019). How technology is reshaping our lives. Retrieved from https://www.pewresearch.org
Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841-1848. https://doi.org/10.1016/j.chb.2013.02.014
Pariser, E. (2011). The filter bubble: What the Internet is hiding from you. New York: Penguin Press. Retrieved from https://escholarship.org/content/qt8w7105jp/qt8w7105jp.pdf?t=mhzvpmÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H