Mohon tunggu...
Stefanus Rahoyo
Stefanus Rahoyo Mohon Tunggu... Dosen - Mantan Guru

Mantan guru yang sekarang menjadi dosen sambil bergelut dengan dunia perbukuan sebagai pekerja buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Idolizing Certificate

20 Maret 2021   06:27 Diperbarui: 20 Maret 2021   06:30 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua hari lalu saya mencatatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk laporan penelitian dasar saya. Ini adalah kali pertama saya mengurus HKI. Sehari kemudian, setelah biaya saya bayar, sertifikat HKI keluar. Dalam hati saya bertanya-tanya: apa istimewanya HKI sehingga harus dijadikan luaran wajib penelitian dasar? Bukankah mengurus HKI begitu mudah? Selama laporannya ada (SEJELEK atau sebagus apa pun), syarat-syarat lain terpenuhi (copy KTP, surat pernyataan, surat penyerahan--HANYA ITU!) terpenuhi, dan MEMBAYAR biaya pencatatan, saya kira sertifikat pasti keluar. Sekali lagi, lalu apa istimewanya HKI dijadikan luaran wajib penelitian dasar? 

Tadinya saya menduga bahwa untuk mengurus HKI sama sulitnya dengan menyiapkan artikel jurnal penelitian. Ternyata tidak! Maka, setelah mengurus sendiri HKI tersebut, saya berpendapat bahwa mengharuskan HKI sebagai luaran wajib penelitian dasar adalah sebuah sebuah pendewa-dewaan sertifikat. Kecuali, tentu saja, hasil penelitian itu berupa teknologi baru, metode baru, produk baru, dan sejenisnya. Kalau sekadar laporan penelitian, buat apa di-HKI-kan? Tetapi, barangkali memang memang baru sampai taraf "sertifikat" itulah pendidikan kita. Segalanya disertifikat, seolah-olah persoalan pendidikan selesai bila sudah disertifikat. Maka jangan heran bila ada sarjana, tapi sarjana sertifikat; ada doktor, tapi doktor sertifikat; bahkan mungkin juga profesor, tapi profesor sertifikat. 

Dua (mantan) dosen saya di Universitas Kristen Satya Wacana (kebetulan kedua-duanya telah almarhum) dalam kesempatan terpisah pernah mengatakan seperti ini (dengan kalimat yang berbeda, tentunya!), "Tidak penting nilai A atau B atau C di ijazah. Yang nanti akan dilihat orang adalah karyamu seperti apa." Kebetulan keduanya sama-sama lulusan Belanda. Begitulah seharusnya pendidikan! Pendidikan tidak disibukkan atau bahkan dikerangkeng oleh tetek bengek administratif-formal-prosedural tetapi seharusnya berorientasi ke hal-hal yang substansial. Yang saya tahu, di Singapura dan Australia (mungkin tidak di semua universitas) dari S1 Anda tidak perlu lewat S2 untuk melanjutkan ke S3. Tentu, Anda harus membuktikan bahwa Anda mampu. Nah, ini substansial!

Jadi, untuk laporan penelitian dasar harusnya bagaimana? Laporan substansialnya adalah, pertama, artikel jurnal, dan kedua, diterima di jurnal mana. Titik! Hal kedua itu menjadi penting karena pada jurnal mana itulah kualitas artikel yang ditulis peneliti diuji!  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun