Mau diakui atau tidak, alam bawah sadar kita saat ini telah digerogoti oleh media sosial dan konten-kontennya. Terumata anak-anak hingga keluarga muda yang hidup di kota dengan kemudahan akses internet. Tiap hari orang terus mengakses media sosial melalui gawainya masing-masing. Entah terakit langsung dengan pekerjaan, maupun hanya sebagai hiburan.
Databooks (16/12/2022) mengemukakan bahwa menurut We Are Social, pada tahun 2022 masyarakat Indonesia menempati urutan kesepuluh dalam list pengakses media sosial terlama dalam sehari di seluruh dunia. Total pengguna media sosial di muka bumi mencapai 4,7 milyar pada awal Juli 2022.
Nigeria dicatat sebagai negara pengakses media sosial terlama dalam sehari yakni 4,11 jam per hari. Kemudian, disusul Filipina, Ghana, Kolumbia, Afrika Selatan, Brazil, Argentina, Arab Saudi, dan Meksiko. Sementara Indonesia yang menempati urutan sepuluh mencatatkan waktu 3,2 jam per hari untuk menggunakan media sosial.
Coba perhatikan, media sosial yang diproduksi negara maju malah paling banyak diakses di negara-negara berkembang. Apakah ini tanda positif atau negatif? Kita bisa mengulasnya di lain kesempatan dengan lain topik.
Di sini saya hanya ingin mengatakan bahwa kebiasaan mengakses dan menggunakan media sosial tanpa kita sadari turut mempengaruhi tindakan atau perilaku kita.Â
Saya punya pengalaman konkret terkait hal ini. Di kampus tempat saya berbagi ilmu, selain mengampu mata kuliah Dasar-Dasar Logika, saya juga menangani kelas fotografi.Â
Saya sadar betul bahwa fotografi sebagai sebuah ilmu tidak cukup hanya dengan teori di kelas. Ia perlu praktik, bahkan harus lebih sering. Agak kurang pas kalau kelas fotografi lebih banyak di kelas daripada praktik lapangan.
Tahun 2013, ketika saya mengikuti kelas fotografi di Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara selama enam bulan, teori fotografi hanya diberikan pada dua pertemuan awal. Setelah itu, seiap hari saya harus menyempatkan waktu keliling ke berbagai sudut kota Jakarta untuk membuat foto.Â
Sabtu, saat pertemuan masing-masing harus menampilkan hasil jepretannya. Bersamaan dengan itulah evaluasi dan teori tengan fotografi diperdalam. Pengalaman praktik-evaluasi itu, menurut saya, lebih efektif.
Maka, ketika saya dipercaya untuk memegang kelas fotografi, saya mencoba untuk menerapkan model serupa. Teori hanya saya berikan di awal semester, sekitar tiga pertemuan, setelah itu kami memulai praktik. Kami sudah beberapa kali membuat foto, baik itu di kelas maupun di luar kelas. Kami mencoba beberapa tema, di antaranya interior, eksterior, makanan, hingga produk.