Beberapa fenomena alam seperti musim penghujan mungkin membawa dampak positif bagi sejumlah mata pencaharian. Tetapi fenomena ini tentu bukan periode favorit dari para pengrajin batik tradisional, mengingat proses pewarnaannya yang begitu bergantung pada kekuatan sinar matahari. Karena kelebaban udara sangat berpengaruh pada hasil akhir dari kain batik, jika cuaca tidak mendukung dan matahari tidak selalu bersinar sepanjang hari, maka proses pengeringan kain yang biasanya semalam selesai, bisa jadi memakan lebih dari 24 jam. Hal ini jelas akan mempengaruhi kuantitas produksi kain batik.
Bergantinya musim kemarau ke musim penghujan ini tentu sangat mempengaruhi perekonomian masyarakat yang menggantungkan hidupnya untuk membuat batik tradisional. Selama 6 bulan setidaknya para pengrajin batik tradisional ini harus menghadapi masa yang sulit untuk mendapatkan cahaya matahari yang cukup, sedangkan para pengrajin batik tradisional ini harus tetap melanjutkan produksinya untuk memenuhi pesanan yang selalu berdatangan. Para pengrajin batik tradisional ini tidak jarang menunda pekerjaannya untuk memberi warna pada kain batik saat hujan turun, karena mereka takut bila kain yang akan mereka beri warna, tidak sesuai degan ekspetasi mereka. Tentu ini membuat penjualan kain batik di musim hujan relatif lebih menurun dibanding saat musim kemarau.
Contohnya dapat dilihat pada salah satu produsen sampur batik di daerah Kadipiro Surakarta yaitu Ahmat Bin Syuhkri (29). Air hujan yang selalu mengguyur ditempat produksinya seringkali membuat pekerjaanya untuk memberi warna pada kain sampur batik tertunda. Menurutnya, selain memperngaruhi pada proses pengeringan, udara yang lembab juga mempengaruhi kualitas warna pada kain sampur batik, seperti membuat warna pada kain menjadi tidak merata atau belang di beberapa bagian.
“Kalau benar-benar terang, mewarnai sepuluh kain itu bisa dua hari, Kalau hawanya hujan tidak bisa, itu saja satu kain harus berhenti,” ucap Ahmat Bin Syuhkri (29), salah satu pengrajin sampur batik, Jumat (27/12/2024).
Nasib para buruh pengrajin batik tradisional yang terdampak pada musim penghujan ini, sudah saatnya untuk diperhatikan oleh para pemangku industri batik di Indonesia. Bergantungnya pewarnaan kain batik ini pada cahaya matahari, sudah tidak bisa dijadikan alasan untuk membiarkan para pengrajin batik tradisional terus berjuang menghadapi ketidakpastian pendapatan di musim hujan. Terlebih, pendapatan dari para mayoritas buruh pengrajin kain batik ini tidak dari gaji bulanan, melainkan pendapatan mereka adalah dari berapa banyak kain yang dapat mereka kerjakan. Jika kain batik yang dapat dikerjakan sedikit disaat musim hujan, maka pendapatan dari para buruh batik tradisional ini juga tidak menentu.
Modernisasi teknologi pengeringan kain batik yang ramah lingkungan dengan pelatihan penggunaannya, menjadi kebutuhan yang cukup mendesak untuk memberikan kesejahteraan kepada para buruh pengrajin batik tradisional ini. Penggunaan mesin fotonik bisa menjadi solusi untuk para pengrajin batik tradisional, karena manfaaatnya yang mampu membantu pengeringan kain batik lebih efektif meskipun dalam masa musim penghujan, serta dapat mengeringkan kain secara merata, sehingga warna pada kain batik pun dapat lebih konsisten dan rata tanpa belang. Tentu mesin ini dapat mendongkrak kuantitas produksi kain batik di musim penghujan, hanya saja harga dari mesin ini tidak bisa dibilang murah.
Oleh karena itu, para pengrajin batik tradisional ini sudah saatnya untuk lebih diperhatikan. Salah satunya dengan memberi mereka fasilitas menggunakan teknologi yang efektif untuk menunjang kelancaran pekerjaan mereka, sehingga pendapatan para pengrajin batik tradisional ini dapat lebih stabil dan membuat perekonomian mereka lebih sejahtera. Ini sekaligus menjadi langkah untuk memastikan terjaganya warisan budaya bangsa ini yang telah diakui oleh UNESCO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H