Mohon tunggu...
Stefanny Dwi Komala Sari
Stefanny Dwi Komala Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kedokteran Hewan - Universitas Airlangga

Mahasiswa Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Saya sangat menyukai segala topik yang berbau politik, ataupun isu-isu yang sedang terjadi baik di nasional maupun internasional. Kemudian saya juga sangat menyukai dan mempelajari hal yang baru

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perdagangan Daging Anjing di Indonesia Budaya yang Bertentangan dengan Etika yang Harus ditinggalkan

2 Januari 2025   11:56 Diperbarui: 3 Januari 2025   19:09 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Sumber : Kompas.com )

Januari lalu menjadi bulan panas bagi para pecinta binatang dan aktivis. Ini disebabkan oleh banyaknya kasus penjagalan anjing yang dikonsumsi sebagai daging. Ini terjadi pada Sabtu, 6 Januari 2024, ketika polisi kota Semarang menangkap sebuah truk yang diduga membawa beberapa ekor anjing untuk penjagalan. Setidaknya 226 ekor anjing yang diangkut truk tersebut berhasil diselamatkan, meskipun mereka berada dalam kondisi buruk, dengan kaki terikat dan mulut tertutup di dalam karung. Karena tingginya permintaan daging anjing, diperkirakan anjing-anjing ini akan dijagal. Sejumlah aktivis perlindungan satwa dan Animal Hope Shelter Indonesia berhasil menghentikan kasus tersebut. 

Perdagangan daging anjing telah ada di Indonesia sejak lama, baik secara diam-diam maupun terang-terangan bahkan sebelum kasus ini menjadi perhatian publik. Banyak kota di Indonesia termasuk Solo, Semarang, Jakarta, Yogyakarta, Bali dan Minahasa. Mengonsumsi daging anjing paling banyak. Misalnya, laporan Dog Meat Free Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 13,700 anjing di konsumsi di Solo pada tahun 2020. Fakta bahwa sekitar dua puluh dua warung makan menjual olahan daging anjing juga mendukung hal ini. Jadi, kasus anjing yang di culik untuk di jadikan olahan daging anjing sangat wajar.  Konsumsi daging anjing di Indonesia sangat tinggi karena anggapan masyarakat bahwa itu meningkatkan stamina, mengobati penyakit kulit, dan menyembuhkan ruam gatal. Namun, tidak ada penjelasan ilmiah yang terkait dan keuntungan tersebut belum di ketahui. 

Berbeda dengan binatang ternak seperti sapi, kambing, domba, dan babi yang memang diperuntukkan untuk konsumsi hewan anjing telah lama menjadi bagian dari kehidupan manusia sebagai hewan peliharaan. Selain itu, jika kita mengabaikan tradisi, mengkonsumsi daging anjing terlihat sangat tidak beretika dan dianggap primitif oleh beberapa orang. Dari segi pengolahan masakan, masyarakat tentu lebih familiar dengan daging hewan yang dikonsumsi daripada anjing. Memang, ada beberapa masyarakat yang menganggap daging anjing cocok untuk makanan seperti rica-rica, dendeng, sop, atau semur, tetapi fungsi utama anjing adalah untuk kepolisian, kesehatan, penjaga rumah, dan ternak. Sebaliknya, masyarakat percaya daging anjing bermanfaat untuk pengobatan. Namun, itu tidak dapat dibenarkan secara ilmiah dan bahkan tidak memiliki dasar metodologis. Sebaliknya, mengonsumsi daging anjing dapat meningkatkan risiko zoonoses rabies yang menular dari hewan ke manusia.

Penyembelihan daging anjing yang melanggar prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare), seperti memukul anjing dengan keras, menusuk lehernya, atau dadanya, memperparah keadaan hingga yang paling parah, yaitu diracuni, membuat darah mengalir dari tubuh atau bangkai yang tidak sempurna. Jika darah menggumpal, hal itu memudahkan bakteri dan patogen lain untuk masuk. Jika darah melekat pada daging, potensi penularan penyakit pada daging sama bahayanya dengan jika daging dimasak.

Terakhir, alasan didasarkan pada etika. Dari perspektif kesejahteraan hewan, pencegahan daging anjing tidak memenuhi lima domain atau lima asas kesejahteraan hewan. Pertama, anjing yang diculik kekurangan nutrisi selama proses distribusi dan penjagalan. Anjing yang di distribusikan untuk konsumsi di ikat erat dan mulutnya di tutup dengan kain sehingga tidak dapat bersuara dan tidak dapat bernafas. Akibatnya, mereka tidak dapat membuka mulutnya dan seringkali mengalami kekurangan makanan dan dehidrasi. Anjing dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk anjing liar yang di telantarkan dan anjing yang masih memiliki pemilik.

Indonesia adalah negara dengan tingkat konsumsi daging anjing tertinggi di Asia, jadi pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengurangi kasus penjagalan dan konsumsi daging anjing di Indonesia, atau bahkan untuk menghilangkan sama sekali. Sangat menyedihkan, tetapi meskipun ada perundang-undangan yang berlaku, tetap tidak dapat memiliki dampak yang lebih khusus. Selain larangan perundang-undangan, masyarakat mungkin memerlukan waktu dan metode yang lebih tepat untuk menghentikan konsumsi daging anjing. Sebagai mahasiswa, kita tidak boleh hanya diam. Kita harus menyuarakan larangan perdagangan konsumsi daging. Selain itu, pemerintah harus memperketat batasan aktivitas tersebut. Jangan biarkan hal ini terjadi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun