Mohon tunggu...
Stefan Sikone
Stefan Sikone Mohon Tunggu... Guru - Mengajar di SMAN 1 Tengaran - Kab. Semarang dan Entreprenuer Bisnis Online

Saya senang menulis dan mengamati bisnis online. Saya berlayar di 3 pulau ilmu: filsafat, ekonomi manajemen, komputer. Mendirikan LPK Bistek untuk memberikan pendidikan dan latihan gratis bisnis online bagi masyarakat yang berminat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dari Cogito Ergo Sum ke Premo Ergo Sum

12 September 2022   08:19 Diperbarui: 12 September 2022   08:37 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berpikir merupakan kualitas manusia yang membedakannya dengan yang bukan manusia. Penulis teringat akan pendapat dari Rene Descartes, filsuf Prancis tentang "Cogito Ergo Sum" , "Aku Berfikir maka Aku Ada".  Bagaimana seandainya ada manusia yang tidak berpikir, apakah mereka masih ada? 

 Cogito ergo sum mengawali masa rasionalisme di mana akal (reason) menjadi alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir dan alat dalam berpikir secara logis. 

Dalam masa ini, akal merupakan alat yang mutlak digunakan dalam mengetahui segala sesuatu. 

 Jaman terus berkembang dan hari ini umat manusia sudah memasuki suatu masa yang lain yang belum pernah ada sebelumnya. Kita memasuki era internet, yang sangat memudahkan seorang untuk mengetahui segala sesuatu, hanya dengan melakukan beberapa klik dan terbukalah informasi yang diinginkannya. Aku klik maka aku ada (Premo ergo sum).

 Begitu mudahnya sampai-sampai ketika sedang rapat atau pertemuan penting pun hampir semua orang yang duduk di sana, melihat ponsel mereka, mengirimkan pesan teks, atau menggulir media sosial.  Kepala mereka selalu menunduk, asyik melihat video atau game, dan earphone membuat mereka  tidak bisa mendengar orang-orang yang tidak jauh darinya. 

 Kita duduk bersama teman-teman di rumah makan, tetapi kita lebih peduli kepada "teman" kita di Facebook atau Twitter atau Instagram daripada teman-teman yang duduk bersama kita. Kita  mungkin bergaul dengan dua teman, tetapi kita lebih berfokus pada tweet ke 100! Kemudian kita khawatir tentang berapa banyak orang yang me-retweet atau menyukai postingan. 

Hingga di sini muncul  persoalan. Media sosial telah melahirkan krisis eksistensial. Mereka menjadikan media sosial sebagai ajang untuk mencari validasi keberadaanya. Namun apakah postingan dilakukan di media sosial itu  merupakan refleksi tentang apa yang dipikirkan sebelumnya, dan menjadi inspirasi pengetahuan untuk orang lain yang membaca postingan tersebut?

Yang menjadi kekhawatiran adalah bila postingan tersebut bersifat gosip semata dan tidak menunjukkan keberadaan pemosting dan selanjutnya menjadikan pembaca tersinggung, marah karena terprovokasi, membuat hoaks dan sebagainya yang bersifat negatif dan mengacaukan dunia online dan offline.

 Ini semua tentang kita dari pada teman-teman kita. Kita hidup di dunia tempat gadget dan teknologi telah membuat kita terus-menerus terganggu dan mempengaruhi kita untuk tidak lagi memperhatikan orang-orang dalam kehidupan kita. Gadget "mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat"

 Internet, media sosial yang ada saat ini harusnya menjadikan kita makin berkualitas menunjukkan keberadaan kita. Apa yang kita posting atau yang dibaca melalui media sosial dewasa ini seharusnya merupakan hasil refleksi atau keluar dari proses berpikir yang matang dan mengungkapkan keberadaan kita yang sebenarnya. Cogito ergo sum. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun