[caption id="attachment_379424" align="aligncenter" width="576" caption="Sumber: JIBI PHOTO"][/caption]
Dalam pidatonya, saat membuka Musyawarah Nasional II Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) di Kota Solo pada 13 Februari 2015, Presiden Joko Widodo mengaku sedikit meragukan (baca: tidak percaya) dengan data jumlah penduduk miskin Indonesia yang mencapai 28 juta jiwa atau mencakup 11 persen dari total jumlah penduduk (Tempo.co, 14 Februari).
Beliau menganggap, data tersebut kurang menggambarkan realitas di lapangan. Musababnya, berdasarkan pengalamannya, data jumlah penduduk miskin cenderung “menyamarkan” kondisi kemiskinan yang sebenarnya. Hal itu tercermin dari penggunaan kategori yang membingungkan dan tidak jelas dalam penyajian angka kemiskinan, seperti kategori “hampir miskin” atau “rentan miskin”. Beliau menginginkan kategorisasi yang lebih jelas: miskin, cukup, dan kaya.
Pada saat menjadi Gubernur Jakarta, misalnya, beliau mengaku pernah disodori data yang menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Jakarta mencapai 3,8 persen. Padahal berdasarkan hasil pengamatan beliau di lapangan, persentase jumlah penduduk miskin mestinya jauh lebih besar.
Sebetulnya, membandingkan data kemiskinan resmi, yang dibangun berdasarkan metode pengukuran tertentu, dengan hasil pengamatan (pribadi) di lapangan sangatlah tidak tepat. Kedua hal tersebut tentu tidak apple to apple, tak bisa diperbandingkan karena mistar ukur yang digunakan jauh berbeda: metode kuantitatif versus persepsi.
Alasan yang paling mendasar adalah soal kesamaan konsep dan definisi kemiskinan yang dijadikan pijakan. Data kemiskinan resmi tentu saja didasarkan pada konsep dan definisi kemiskinan yang baku dan terukur. Berdasarkan konsep dan definisi itu, kemiskinan kemudian diukur secara kuantitatif serta diestimasi melalui survei (pengumpulan data di lapangan) untuk memperoleh gambaran utuh tentang populasi.
Sementara itu, hasil pengamatan seseorang seringkali dibangun berdasarkan persepsi pribadi, tidak terukur, dan cenderung subyektif. Persepsi individu juga acap kali bias jika dijadikan pijakan untuk melakukan generalisasi, karena keterbatasan cakupan yang bisa diamati.
Saat Pak Jokowi blusukan ke bantaran Kali Ciliwung di daerah Kampung Melayu, misalnya, beliau tentu bakal memperoleh gambaran faktual tentang kondisi kemiskinan di daerah tersebut dari perspektif beliau dan berdasarkan definisi “miskin” yang ada dibenak beliau.
Tapi pada saat yang sama, beliau tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: berapa banyak jumlah penduduk miskin di daerah tersebut? Dan, berapa banyak jumlah penduduk miskin di wilayah lain di Jakarta pada saat yang sama? Karena, sekali lagi, alat ukurnya adalah persepsi dan pengamatan secara visual terhadap realitas yang terjadi di lapangan.
Kalaupun angka kemiskinan yang ada saat ini dirasa kurang akurat dalam menggambarkan kondisi riil yang terjadi di lapangan, hal tersebut memberi konfirmasi bahwa dewasa ini data kemiskinan yang akurat merupakan tuntutan dan kebutuhan para pengambil kebijakan yang harus dipenuhi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga yang selama ini menghitung jumlah penduduk miskin. Hal ini penting, karena akurasi data kemiskinan merupakan faktor yang sangat krusial dalam menentukan keberhasilan pemerintah ihwal penanggulangan kemiskinan.
Faktanya, pengukuran kemiskinan bukanlah perkara yang mudah. Pasalnya, kemiskinan bersifat multidimensi, dinamis, dan sangat kualitatif. Karena itu, hingga kini, tak ada satupun metode yang betul-betul sempurna dalam memotret kemiskinan.
Di Indonesia, perhitungan jumlah penduduk miskin menggunakan pendekatan moneter. Artinya, pengukuran kemiskinan didekati dari sisi pendapatan/pengeluaran.Dalam prakteknya, BPS menghitung garis kemiskinan, yang secara sederhana dapat dimaknai sebagai jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.