Mohon tunggu...
Statistisi Berbagi
Statistisi Berbagi Mohon Tunggu... -

Berbagi dengan statistik

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Statistik Bukan Sekadar Angka

15 Mei 2015   06:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_383644" align="aligncenter" width="446" caption="shutterstock"][/caption]

5 Mei 2015. Pagi itu, di hadapan para wartawan yang sudah tak sabar menunggu angka pertumbuhan ekonomi nasional diumumkan, wajah kepala Badan Pusat Statistik (BPS) menyiratkan air muka yang sedikit tegang. Sepertinya, ada kabar buruk yang hendak ia sampaikan.

Benar saja, rilis angka pertumbuhan ekonomi nasional hari itu cukup mencengangkan. Betapa tidak,  Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada triwulan I 2015 hanya tumbuh sebesar 4,7 persen. Itu artinya, meminjam istilah para ekonom, ekonomi nasional tengah mengalami perlambatan (slowingdown). Bukan pula sembarang perlambatan. Pasalnya, angka tersebut merupakan pertumbuhan terendah sejak tahun 2009.

Hanya beberapa saat setelah kabar buruk tersebut tersebar melalui media dalam jaringan, pasar uang langsung bereaksi. Hari itu juga, nila tukar rupiah langsung tertekan di atas Rp13.000/USD. Konon, hal ini menjadikan rupiah sebagai mata uang dengan performa terburuk.

Kabar perlambatan ekonomi yang dirilis BPS pagi itu ternyata berbuntut panjang, dan tidak hanya menghantam pasar uang. Tak terelakkan, beberapa hari kemudian, sentimen negatif terhadap perlambatan ekonomi juga menggerogoti lantai bursa. Akibatnya, banyak investor hengkang dari pasar saham, dan kepercayaan investor asing pun menjadi luruh.

Di ranah politik, rilis angka pertumbuhan ekonomi nasional yang diumumkan kepala BPS pagi itu bukan hanya sekadar kabar perlambatan ekonomi. Secara politik, kemampuan pemerintah dalam mengelola perekonomian nasional dipertanyakan. Gelombang kritik dari pihak oposisi pun tak bisa dihindari.

Isu perombakan kabinet (reshuffle) yang sebelumnya sudah mengemuka juga bertiup makin kencang. Apalagi,  selain pertumbuhan ekonomi, hari itu BPS juga merilis indikator-indikator ekonomi lain yang juga memberi catatan buruk terhadap kinerja menteri-menteri di bidang ekonomi.

BPS melaporkan, jumlah penganggur pada Februari 2015 melonjak sebanyak 300 ribu orang dibanding kondisi pada bulan yang sama tahun lalu. Sementara itu, indeks tendensi bisnis pada triwulan I 2015 hanya sebesar 96,3 yang memberi konfirmasi bahwa para pelaku bisnis merasa pesimis dengan kondisis ekonomi nasional pada triwulan I 2015.

Dampak yang ditimbulkan rilis angka pertumbuhan ekonomi yang diumumkan BPS pagi itu sejatinya memberi konfirmasi bahwa kini, statistik resmi (official statistics) bukan lagi sekadar digit-digit angka. Di ere digital economy dewasa ini, di saat kinerja diukur dan dievaluasi berdasarkan ukuran-ukuran kuantitatif, statistik resmi yang dirilis BPS tidak hanya memiliki dampak luas secara ekonomi, tapi juga politik.

Karena itu, ada sebuah tanggung jawab besar di pundak para statistisi (petugas statistik pemerintah), yakni bagaimana menghasilkan data-data statistik yang akurat dan menggambarkan realitas yang sebenarnya terjadi di lapangan (obyektif).

Ada banyak contoh untuk menunjukkan betapa mahalnya ongkos yang harus dibayar jika suatu keputusan didasarkan pada statistik yang tidak akurat. Di Negeri Abang Sam, misalnya, kesalahan pencatatan inflasi yang dilakukan oleh Biro Statistik Amerika Serikat  pada 1996 dan periode sebelum 1996 diperkiran telah menyumbang peningkatan defisit anggaran sebesar US$ 148 miliar dan juga utang pemerintah sebesar US$ 691 miliar (Toward a More Accurate Measure of The Cost Living, 1996).

Statistik yang tidak akurat juga bakal memberi gambaran yang keliru mengenai arah pembangunan ekonomi nasional. Kita bisa saja menyangka tengah bergerak ke arah kemajuan. Padahal faktanya, hal tersebut hanyalah ilusi yang disajikan oleh angka-angka statistik. Sebaliknya, kita justru tengah mengalami stagnasi atau bergerak ke arah yang salah dan berlawanan.

Peran strategis data-data statistik dewasa ini juga memberi konfirmasi bahwa statistik resmi yang dirilis BPS harus obyektif. Pasalnya, statistik tersebut ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengklaim keberhasilannya dalam menjalankan roda pembangunan. Namun di sisi lain, seperti angka pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS pagi itu, ia juga dapat menjadi senjata ampuh pihak oposisi untuk mengkritisi dan menyerang kinerja pemerintah.

Karena itu, statistik resmi yang dirilis BPS harus dihasilkan melalui proses yang independen, bebas kepentingan, dan tidak memihak (imparsial). Dengan kata lain, BPS sedikit pun tak boleh diintervensi, dan harus diberi ruang untuk melakukan itu. (*)

Salam statistik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun