Pemerintah pusat boleh saja memiliki rencana program yang spektakuler, tapi selama program tersebut tidak didukang secara penuh oleh pemerintah daerah sebagai eksekutor, program bisa gagal mencapai target dan hasilnya mengecewakan.
Muslihat angka
Berhasil atau tidaknya pemerintah dalam mencapai terget peningkatan produksi yang telah ditetapkan pada akhirnya bakal ditentukan oleh data statistik yang dirilis BPS. Repotnya, tidak semua pihak siap dan mau menerima dengan lapang hati “kenyataan pahit” yang disodorkan oleh angka-angka statistik. Apalagi jika usaha yang dikerahkan sudah luar biasa, berdarah-darah, dan menghabiskan anggaran yang tidak sedikit.
Di sinilah posisi sulit seorang statistisi (petugas statistik pemerintah), ketika angka statistik yang dihasilkannya merupakan alat evaluasi sebuah program pemerintah yang menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Bila idealisme tipis, yang terjadi bisa jadi adalah “muslihat angka”. Data bukan lagi hasil obyektivitas statistik, tapi sesuai pesanan pihak yang berkepentingan.
Tentu hal tersebut tak boleh terjadi. Independensi dan obyektivitas statistik harus ditegakkan. Statistik, sebagaimana adanya, adalah alat evaluasi bukan alat “justifikasi”. Peduli setan bila kenyataan yang disodorkan oleh data statistik menyangkut kinerja suatu kementerian, soal program yang telah menghabiskan belasan triliun anggaran negara, dan soal nasib sejumlah pejabat mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Karena semua itu bukan urusan statistik.
Yang harus dipastikan adalah pengumpulan data sudah dilakukan secara benar dan sesuai dengan kaidah ilmu statistik. Kalau itu sudah dilakukan, biarlah statistik berbicara secara obyektif dan apa adanya. Karena tugas statistisi sejatinya hanyalah memotret secara benar apa yang terjadi di lapangan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H