Mohon tunggu...
Ika Karunia Purnamasari
Ika Karunia Purnamasari Mohon Tunggu... -

Life is about trusting your feelings & taking chances, also losing & finding happiness, appreciating the memories and learning from the past, \r\n\r\n\r\n[just ordinary me]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

C'est La Vie ...

25 Januari 2014   11:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390623852628826041

“C’est la vie, Ikaa.. “. Ucapnya yang akan selalu, seumur hidup saya, akan saya kenang. Selamanya. Selain memang keren terdengarnya, gak susah dibaca juga dibanding kata prancis lainnya, tapi kata sederhana ini maknanya luas cocok di segala suasana. Selama beberapa tahun kami belajar bahasa seksi yang memang susah banget nempel di kepala ini. Buat saya pribadi mungkin ya. Salah satu pelajaran yang mungkin tidak sepenting fisika-kimia-matematika, bukan pelajaran primadona tapi keren aja sih ya, tapi sungguh, kehadirannya kami tunggu dan anggap penting. Kenapa? Karena dia selalu hadir dengan cerianya, dengan ceritanya, dengan segala kebijakannya yang dia bagi. Inspiratif sekali. Berkesempatan dimana beliau menjadi wali murid ketika kelas dua SMA. Dimana kelas kami waktu itu sangat ‘Bhinneka’. Segala agama ada, segala keunikan tersedia, segala macam kepribadian teman hadir juga. Ada satu kesempatan dimana dia berbicara di depan kelas kami, berbagi cerita yang cukup ‘dalam’. Menyadarkan kami banyak hal. Dia tertawa ceria sampai berkaca-kaca menguraikan tiap kata, dari humornya yang khas, lelucon cerdas, sampai nasihat dan petuah. Saya yakin beberapa teman masih ingat peristiwa ini terjadi kapan. Dan seandainya beliau tau atas ‘pencapaian’ beberapa teman, saya yakin dia cukup senang. Dengan indicator pencapaian yang berbeda pada setiap orang dan sudut pandang. Dan … dia juga yang meyakinkan ibu saya tentang pilihan saya mengambil sebuah jurusan yang mungkin dianggap sebelah mata. Kenapa? Karena secara nilai saya cukup mampu dan sangat disayangkan bila mengambil jurusan ‘kedua’. Dia-lah yang dengan bijaksana bertanya sebelumnya dan memanggil saya pribadi setelah pembagian hasil rapot selesai, setelah mendengar keinginan ibu pastinya. “Ika, kamu yakin dengan pilihanmu, kan?” “Ya, pak..” “Sudah bertanya sama Tuhan, istiharoh ?” “Sudah, pak .. saya cuma memilih sesuai dengan keinginan saya, kemampuan saya tanpa rekayasa”. Karena waktu itu saya berpikir saya bisa membuat nilai yang baik di mata pelajaran yang TIDAK saya sukai karena menghapal, karena belajar keras, bukan karena ‘memang dari sananya’ saya cerdas. Saya tau kemampuan saya. “Tapi nilai kamu sangat cukup baik untuk masuk di pilihan pertama, dimana banyak temanmu yang lain malah maksa, kamu yakin Ika?” dia menatap saya sangat tajam. “Yakin pak..” dengan mata berkaca-kaca. Dan entah bagaimana, ibu saya akhirnya setuju dengan pilihan saya. Di kesempatan lainnya, ketika hujan turun dengan derasnya. Januari, seperti bulan ini. Kami mengobrol di depan kantor, dia tau saya persis rupanya, padahal saya pendiam dan bukan anak yang cukup terang. Berbagi cerita, tentang hidup, tentang keluarga, tentang teman, tentang cita-cita, tentang pandangan, tentang sudut pandang, dan tentang lainnya. Dia tau saya, karena tugasnyalah untuk tahu persis setiap murid dimana dia pernah menjadi wali murid. “C’est la Vie, Ikaa ..” Inilah hidup, dia kembali mengulang ceritanya tentang usahanya berjalan tanpa kruk. Tentang teman-temannya yang terlihat ‘jahat’ pada awalnya. Ketika dia masih sekolah, dari pintu gerbang sekolahnya, kruknya diambil paksa oleh temannya. Sehingga dia harus melakukan segala cara untuk sampai di kelas. “Ika, semua teman-teman saya ketika itu, ada disamping, belakang dan depan saya, mengejek saya, mengata-ngatai saya, meneriakan kata-kata yang menyayat, saya menangis, sedih sekali ikaaa.. saya hampir pulang, tapi mereka mengejek saya pengecut! Dan dengan perasaan sakit, saya paksakan saja berjalan, sampai ketika hampir sampai di kelas, mereka malah meneriakan kata semangat, dan begitu berhasil mencapai kelas dengan segala cara, semua teman-teman saya bersorak, bersemangat …. Hayunnn, kamu ternyata bisa kan gak pakai kruk mu itu…” dia bercerita sambil berkaca-kaca. Dan sejak itu memang beliau mampu tidak menggunakan kruknya lagi. Berjalan dengan kakinya sendiri, yang memang kurang sempurna tapi ‘perkasa’. Ceritanya diulang di depan kelas dalam beberapa. Tapi selalu menginspirasi setiap jiwa. Dia pun berbagi cerita lainnya, sesuai dengan siapa yang dihadapinya. Ceritanya banyak, lengkap, dan ada saja. Dia pribadi bersahaja yang tidak juga diremehkan. Ketika dia berkata tegas, maka itulah dia dengan integritas. Ketika dia berbagi, itulah dia dengan ketulusan hati. Hari ini, pemilik semesta lebih sayang dia. Bapak, dengan segala kerendahan hati, teriring tulusnya doa yang mungkin belum mampu menggenapkan semua. Dan, saya serahkan sepenuhnya kepada Pemilik setiap kita untuk menerima segala amalan bapak yang saya sangat yakin menginspirasi setiap jiwa. Mungkin ini saya. Saya yang berlebihan, saya yang terlalu sayang, saya yang mengidolakan, sosok Bapak yang terakhir saya temui beberapa bulan lalu ketika kita beli martabak di depan sekolahan. Dan bahkan, Bapak masih kenal nama Ika Karunia yang bukan siapa-siapa. Perkenankan malaikat mengantarnya dengan segala amalannya, Tuhan. Perkenankan kami mengingatnya dengan segala kebaikannya. Perkenankan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan. Atas sosok dedikasi yang sederhana namun menginspirasi setiap jiwa. Terutama kami, yang waktu itu masih sangat ‘muda’. Prayers send. We will miss u, Monsieur!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun