Di era globalisasi yang masif ini, dunia digital menjadi semakin maju, terutama dalam ranah komunikasi. Salah satu media digital yang kini kian menjamur adalah media sosial. Dari yang muda hingga tua, media sosial seakan menjadi kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat modern. Oleh karena itu, berbagai media sosial menjadi semakin kompetitif satu sama lain untuk meraih keloyalitasan dari para pengguna media sosial.Â
Berbagai inovasi tentang fitur-fitur canggih di media sosial seperti Instagram, TikTok, X (Twitter) mampu memperoleh kepercayaan atas kenyamanan dari ratusan juta pengguna media sosial. Namun, dari banyaknya platform asing ini, tersirat pertanyaan sederhana: mengapa warga Indonesia tidak menggunakan media sosial lokal saja?
Potensi media sosial karya anak bangsa sebagai wadah interaksi digital antar masyarakat Indonesia sangatlah besar. Sama halnya seperti warga China yang menggunakan media sosial lokalnya sendiri yang bernama Weibo, hal tersebut dapat menjadi hal yang baik karena kita dapat menerapkan produk lokal sebagai produk utama yang digunakan oleh masyarakat negara tersebut.Â
Namun, hal ini berbanding terbalik dengan keadaan media sosial lokal di Indonesia yang sepi peminat. Apakah hal ini disebabkan oleh fitur-fitur dari media sosial lokal yang kurang menarik, atau kurangnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat? Hal ini perlu dipikirkan karena sistem komunikasi Indonesia menerapkan nilai-nilai Pancasila, terdapat nilai tentang mecintai produk dalam negeri pada sila ke-3 Pancasila.
Hal yang membedakan pada setiap media sosial adalah fitur dan visual yang disuguhkan. Pada segi fitur, media sosial lokal seperti Berbangsa dan Kwikku tidak bisa dikatakan kalah jauh dari media sosial asing karena tujuan dari eksistensi media sosial tetaplah sama, yaitu berinteraksi tanpa adanya batas jarak dan waktu.Â
Namun, dari segi visual, tampilan aplikasinya cenderung mirip dengan media sosial asing yang telah lama populer, sehingga ketika diharuskan untuk 'pindah haluan,' akan muncul rasa kurang nyaman karena visualisasinya mirip seperti media sosial lainnya tetapi banyak bagian yang berbeda. Sama halnya seperti baru saja memperbarui aplikasi, pasti perlu waktu untuk adaptasi.
Mengenai tampilan visual, memang hal tersebut hanya memerlukan adaptasi bagi para pengguna karena media sosial lokal sudah memiliki visual yang cukup bagus. Namun, dengan mudahnya hal tersebut, mengapa banyak masyarakat yang belum menggunakan media sosial lokal, bahkan belum pernah mendengar nama-nama platform tersebut?Â
Tentu, tak hanya dari faktor fitur dan visual saja, faktor kepopularitasan juga turut andil dalam menggapai pengguna media sosial. Semakin aplikasi tersebut dikenal, maka orang-orang akan menggunakan aplikasi tersebut.Â
Sebagai contoh, yaitu ketika kebanyakan masyarakat Indonesia mengunduh WhatsApp daripada Telegram karena secara tersirat, mayoritas warga lokal sudah memusatkan komunikasi daringnya di WhatsApp. Oleh karena itu, meskipun Telegram lebih variatif dari WhatsApp dalam segi fitur, warga lokal akan tetap menggunakan WhatsApp.
Sebenarnya, media sosial lokal dapat menjadi media sosial 'utama' bagi warga Indonesia, sehingga definisi mengindonesiakan komunikasi dalam sistem komunikasi Indonesia akan menjadi semakin baik karena sesuai dengan Pancasila sila ke-3 yang berbunyi "Persatuan Indonesia," mengandung nilai untuk mencintai produk dalam negeri.Â
Namun, kurangnya dukungan untuk mewujudkan hal tersebut seakan menjadi mimpi yang sulit untuk diraih. Padahal, bisa saja pemerintah memberi dukungan dalam berbagai hal, sehingga setidaknya warga lokal mengetahui eksistensi dan nama-nama media sosial lokal itu sendiri. Pemerintah Indonesia perlu banyak belajar untuk mengapresiasi, mendukung, dan mengembangkan SDM di Indonesia.