Mohon tunggu...
Siti Aminah
Siti Aminah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Pendidikan Indonesia

Seorang bijak berkata, “Daripada mengutuk kegelapan malam, lebih baik menyalakan lilin kecil peradaban”, ya begitulah seharusnya. Alih-alih terus mengeluh atas setiap permasalahan yang terjadi, bukankah mencari solusi adalah pilihan yang lebih bijak untuk dilakukan?

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Eksistensi Tatali Paranti Karuhun sebagai Adat Istiadat Kasepuhan Sinar Resmi di Era Modernisasi

30 Juni 2022   13:30 Diperbarui: 30 Juni 2022   22:21 2297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lahan persawahan di Kasepuhan Sinar Resmi, Dokpri

"Nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balaréa" begitulah prinsip yang dipegang oleh masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi, yang bermakna mematuhi hukum, membantu negara, dan kesepakatan bersama. Kasepuhan Sinar Resmi merupakan salah satu kampung adat yang terletak di Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Desa Sirna Resmi, Kec. Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

Kasepuhan ini termasuk pada kesatuan Kasepuhan Banten kidul yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Masyarakatnya bersuku Sunda dan beragama Islam. Selain itu, mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani atau disebut dengan kegiatan ngahuma oleh masyarakat setempat.

Tiba di Kasepuhan Sinar Resmi, Dokpri
Tiba di Kasepuhan Sinar Resmi, Dokpri

Sebelum bernama Kasepuhan Sinar Resmi, kasepuhan ini memiliki nama yang sama dengan desanya yakni Sirna Resmi. Kata "sirna" dalam bahasa Sunda memiliki makna betah atau enak untuk ditempati. Akan tetapi, karena kata "sirna" secara umum bermakna "hilang", maka diubahlah menjadi "sinar" yang berarti cahaya, Sinar Resmi berarti cahaya yang resmi.

Perubahan nama kasepuhan tersebut dilakukan pada tanggal 2 Februari 2002 oleh pemimpin adat yang saat ini memimpin. Masyarakat kasepuhan menyebutnya dengan sebutan "Abah", beliau bernama Abah Asep Nugraha. Pemimpin adat (Abah) memegang peranan penting dalam pelaksanaan norma adat sehingga harus ditaati oleh masyarakat kasepuhan.

Sebagai masyarakat adat yang masih memegang dan menjalankan tradisi leluhur di bawah pengawasan Abah sebagai tutunggul kasepuhan, warga kasepuhan meyakini padi atau Dewi Sri sebagai sumber kehidupan, sehingga harus diperlakukan sebagaimana layaknya memperlakukan seorang insan atau manusia.

Jika manusia memiliki rumah sebagai tempat tinggal, maka padi pun seperti itu, memiliki leuit atau lumbung padi sebagai tempat tinggalnya. Oleh karena itu, bagi masyarakat sinar resmi, menjaga kearifan lokal khususnya di bidang pertanian merupakan suatu keharusan, karena mereka meyakini bahwa setiap benih lokal padi lah yang akan menjadi warisan kebudayaan.

Berbicara mengenai adat tradisi atau adat istiadat di Kasepuhan Sinar Resmi, secara turun temurun nilai-nilai kearifan lokal untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungan telah menjadi bagian yang melekat dalam masyarakatnya. Para leluhur mewariskan kearifan lokal  yang sampai kini terus dijaga, dirawat, dan dijadikan filosofi hidup.

Sebagai komunitas adat, masyarakat kasepuhan sinar resmi memiliki tatali paranti karuhun sebagai kepercayaan atau adat istiadat yang masih dipegang teguh oleh masyarakat kasepuhan. Adat istiadat tersebut tercerminkan ke dalam berbagai simbol berupa aturan dan pantangan atau larangan.

Berikut ini merupakan beberapa aturan dan larangan yang berlaku di Kasepuhan Sinar Resmi :

Pantang menjual beras

Beras berasal dari padi dan padi merupakan sumber kehidupan yang diyakini oleh masyarakat Kasepuhan. Sehingga menjual beras sama artinya dengan menjual kehidupan. Hal tersebut menjadi pantangan atau larangan yang harus dipatuhi. Dengan kata lain, padi atau beras yang dihasilkan hanya digunakan sebagai konsumsi pribadi dan tidak untuk diperjualbelikan.

Pantang mengeluarkan padi di hari lahir

Padi diperlakukan selayaknya manusia, sehingga proses dikeluarkannya padi pantang untuk disamakan dengan hari kelahiran dari warga kasepuhan.

Pantang menanam padi lebih dari satu kali dalam setahun

Masyarakat kasepuhan Sinar Resmi menganggap bahwa tanah atau bumi itu ibu, bapak itu langit. Seorang ibu tidak mungkin melahirkan lebih dari satu kali dalam setahun, dan setiap makhluk di muka bumi hidup hanya sekali. Filosofi ini sangat dijunjung tinggi dan dijadikan pantangan.

Lahan persawahan di Kasepuhan Sinar Resmi, Dokpri
Lahan persawahan di Kasepuhan Sinar Resmi, Dokpri

Pantang bersiul atau "ngahéot" di sekitar kampung

Aktivitas bersiul adalah tanda menantang burung untuk datang, apabila burung datang maka tentunya akan merusak padi. Oleh karena itu, bersiul atau ngahéot (bahasa Sunda) sangat dilarang untuk mencegah terjadinya kesialan.

Pantang mengolah sawah pada hari Jumat dan Minggu

Dalam Islam, mewajibkan setiap umat laki-laki untuk melaksanakan shalat Jumat pada hari Jumat. Selain itu, hari Jumat merupakan hari yang baik untuk melaksanakan amalan sunnah yang bernilai ibadah. Adapun hari Minggu merupakan hari libur yang dapat dimanfaatkan untuk beristirahat dan berkumpul bersama keluarga. Sehingga, dilarang untuk melakukan aktivitas yang akan mengganggu momen-momen pada hari tersebut, termasuk kegiatan mengolah sawah yang pantang dilakukan pada hari Jumat dan Minggu.

Pantang menyisakan butir nasi atau "ngaréméh" ketika makan

Mengolah padi menjadi beras hingga akhirnya menjadi nasi, tentunya melewati rangkaian proses yang begitu panjang, belum lagi padi yang disakralkan oleh masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi, hal tersebut cukup menjadi alasan mengapa tidak boleh menyisakan butir nasi ketika makan. Selain itu, dengan tidak menyisakan nasi merupakan bentuk penghormatan terhadap padi sebagai sumber kehidupan dan menghormati jerih payah para petani.

Diwajibkan memakai bawahan kain untuk perempuan dan ikat kepala untuk laki-laki

Pakaian yang dikenakan saat di kasepuhan, Dokpri
Pakaian yang dikenakan saat di kasepuhan, Dokpri
Hal ini berlaku untuk masyarakat kasepuhan maupun para tamu yang datang berkunjung. Perempuan memakai bawahan kain, karena dengan memakai kain samping tidak akan membentuk lekuk tubuh. Selain itu, nyaman juga dikenakan karena lebih leluasa bergerak. Hal ini telah menjadi kebiasaan perempuan di sana yang sampai saat ini masih terjaga.

Sedangkan ikat kepala untuk laki-laki memiliki filosofi tersendiri, laki-laki dipandang sebagai insan yang memiliki keinginan atau kemauan yang besar. Dengan memakai ikat kepala, maka keinginan yang terlampau besar tersebut dapat ditahan karena ikat kepala sebagai simbol untuk mengontrol keinginan tersebut. Selain itu, ikat kepala juga menggambarkan bahwa sesama masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mesti saling terikat satu sama lain serta harus saling menjaga persaudaraan dan kebersamaan.

Pantang membangun atap rumah menggunakan genteng

Menurut kasepuhan, tidak mungkin manusia hidup di bawahnya terdapat tanah dan di atasnya terdapat tanah pula. Hal tersebut karena apabila hidup di bawah tanah dan di atas tanah, itu berarti menandakan sesuatu yang tidak hidup atau sudah berakhir kehidupannya, aliasnya rumah yang dibangun sama saja dengan sebuah kuburan.

Sehingga rumah-rumah yang dibangun di Kasepuhan Sinar Resmi berbentuk panggung dengan bahan dari bambu dan kayu serta atap dari daun nipah, ijuk, dan alang-alang. Kayu menggambarkan hidup yang menyatu dengan alam. Sedangkan ijuk, nipah, dan alang-alang mencerminkan bahwa di atas masyarakat adat terdapat hukum, sehingga kudu nyanghulu ka hukum yakni hukum yang alami atau kepada leluhur.

Atap rumah di kasepuhan, Dokpri
Atap rumah di kasepuhan, Dokpri

Bangunan rumah berbahan kayu, Dokpri
Bangunan rumah berbahan kayu, Dokpri
Wajib mengikuti rangkaian aturan adat dalam proses penanaman padi

Proses penanaman padi tidak boleh dilakukan secara sembarangan, melainkan harus mengikuti aturan adat yang berlaku. Adapun beberapa ritual adat yang berkaitan dengan aktivitas penanaman padi diantaranya yaitu ngaseuk (selamatan awal menanam padi dengan ziarah ke pemakaman leluhur, menikmati nasi kebuli, dan menampilkan beragam kesenian),  sapangjadian paré (memohon izin kepada leluhur agar padi tumbuh subur), sawenan (ritual sesudah padi tumbuh keluar), bébérés mager (ritual dalam rangka menjaga padi dari hama), ngarawunan (ritual untuk meminta isi padi agar tumbuh dengan sempurna, subur, dan terhindar dari hama), mipit (kegiatan memanen padi, didahului oleh Abah), nutu (kegiatan menumbuk padi hasil panen), nganyara (ritual ketika padi ditumbuk dan dimasak pertama kalinya), tutup nyambut (selamatan yang menandakan terselesaikannya seluruh kegiatan pertanian), sérén taun (puncak tradisi dari serangkaian kegiatan pertanian di setiap tahunnya) dan turun nyambut (ritual pertanda dimulainya kegiatan pertanian setelah sérén taun).

Kasepuhan Sinar Resmi sebagai kampung adat yang di dalamnya terdapat banyak aturan dan pantangan atau larangan masih mempercayai pantangan tersebut untuk kesejahteraan hidup mereka. Selain itu, pantangan juga menjadi dasar aturan-aturan adat yang menyiratkan sebab akibat apabila dilanggar. Tatali paranti Karuhun menjadi pedoman hidup masyarakat di Kasepuhan Sinar Resmi sehingga mesti dijalankan sebab apabila terjadi pelanggaran maka akan mengakibatkan kabendon, kualat atau malapetaka yang merugikan.

Era modernisasi, tidak menjadi alasan runtuhnya kepercayaan dan adat istiadat yang diterapkan, faktanya masyarakat sinar resmi masih menerapkan beragam pantangan di kampung mereka. Padahal biasanya di tengah arus modernisasi, aturan dan pantangan seringkali dianggap sebagai hal yang tidak masuk akal. Namun, hal tersebut tidak berlaku di Sinar Resmi sebab masyarakatnya percaya bahwa setiap pantangan memiliki maksud yang baik bagi kehidupan mereka. 

Meskipun begitu, tidak dipungkiri bahwa adanya modernisasi tentu saja membawa perubahan kepada masyarakat di Kasepuhan Sinar Resmi dan dampaknya terlihat begitu jelas. Kini, sudah ada listrik dan mulai menggunakan alat-alat elektronik. Namun, Abah sebagai pemimpin adat menuturkan bahwa ia percaya apabila masyarakat kasepuhan tetap memegang teguh kepercayaan, maka modernisasi tersebut tidak akan menghancurkan nilai-nilai luhur serta adat istiadat kasepuhan sinar resmi

Hal tersebut terjadi karena semodern apapun kemajuan zaman, masyarakat kasepuhan tetap punya akar budaya dan akar tradisi. Kembali ke negara, apabila budayanya kuat, tradisi kuat, maka negaranya pun akan kuat tetapi ketika adat tradisinya buruk maka negara pun akan ikut buruk.

Pada akhirnya, tatali paranti karuhun yang diyakini oleh masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi tetap eksis, di satu sisi karena tetap mempertahankan adat istiadatnya tetapi di lain sisi mereka juga melakukan inovasi yang tidak merusak lingkungannya atau menghilangkan kekhasan dari kasepuhan Sinar Resmi itu sendiri. 

Hal ini sebagaimana istilah "Nyaindung ka waktu, mibapa ka jaman". Walaupun hidup mengikuti zaman bukan berarti harus secara keseluruhan mengikuti budaya luar. Tidak menolak terhadap modernisasi, namun tetap memfilter agar dapat menjaga keseimbangan, menjadi pilihan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang menjadikan adat istiadatnya masih tetap menunjukkan eksistensinya hingga saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun