Menyimak perilaku diri, kecilnya saat unyu-unyu, ternyata telah ada tanda-tanda yang termaknai kelak. Tak mampu beli koran dan buku dongeng, sedihnya membekas hingga menua, ketika hidup telah mampu mandiri.
Badai telah berlalu, mimpi-mimpi telah tertuntaskan gara-gara tekad kuat, dan bersemangat memuaskan dahaga masa lalu.
Liur menetes di sela-sela lidah, bukan karena dihadapkan makanan lezat. Aneh memang, pasalnya ketika singgah di simpang jalan, waktu itu banyak penjual koran dan buku-buku dongeng bekas baca digelar.Â
Cukuplah, bila penjual koran merelakan barang dagangannya, dibolak-balik dan dibaca sekilas oleh seorang anak yang bekal uang sakunya tak seberapa.
Media pembelajaran tak melimpah, ketika itu internet belumlah lahir, dan prosesnya telah menguatkan semangat seadanya dan menyimpan keinginan membaca dalam sebuah angan-angan melambung.
Tak perlu buku-buku motivasi, selayak kini yang bertebaran memenuhi jagad visual dan maya. Rupanya motivasi untuk sukses telah terbangun dengan sendirinya, berdasarkan kisah-kisah sederhana yang teralami.
Pandai-pandai memahami perilaku anak-anak, melihat talenta-talenta tersembunyi. Terkadang anak-anak bersikap nakal, tak ada waktu bermain karena padat merayap dijejali les-les privat, baik pelajaran maupun kesenian wajib yang sifatnya ketat aturan.
Mungkin anak kurang piknik, maksudnya pikiran dan kreatifitasnya terpangkas karena padat waktu.Â
Pikniknya pikiran anak bisa saja dilakukan dengan cara memberi waktu dan mengajaknya jalan-jalan di alam bebas dan segar, terlepas dari  urusan belajar formal.
Seorang anak perlu juga diajarkan merawat tanaman, menyiram dan mengamati tumbuh kembangnya, berlatih dan belajar memaknai bagaimana proses sebuah pencapaian itu perlu kesabaran, dan kesungguhan.