Senyap, lebih dari sekadar sepi. Sejak istrinya meninggal beberapa tahun lalu, dan kedua anak lelakinya yang telah berkeluarga tinggal terpisah, rumah itu seolah dingin.
Meski hanya berbeda satu rumah, di seberang jalan, Si-Bapak kerap menyibukkan diri dan menerima kenyataan.
Anjing kurusnya di halaman samping rumah terkadang menyalak liar. Menanti harap ibu yang selalu menyayanginya, memberi makan dan memandikannya, meski tak mungkin kembali lagi.
Bukan mengasingkan diri atau tak mau bergaul, kesibukkan kerja dan lain-lain menyebabkan kami jarang sekadar ngobrol.
Ingatan melayang ke masa lalu, saat anak-anak dan istrinya ada, ceria dan celoteh, terdengar membahagiakan dalam suasana akrab.
Selintas ketika memandang ruang tamunya, pernak-pernik perabotannya seakan haus, mengharap suasana bahagia tercipta kembali.
Makan sendiri, masak sendiri, dan menonton TV pun sendiri, merupakan kenyataan yang tak bisa dihindari. Namun, sapa hangat bersemangat sering terjumpai ketika pagi hari hendak ke kantor, dan Si-Bapak sedang sibuk menyapu halaman.
![Ilustrasi Si-Bapak bersama cucu. Sumber : http://elevation.maplogs.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/07/18/jk3850686856-0f5383e8e1-5d30866e097f363e37639bd2.jpg?t=o&v=770)
Semua menjadi hidup kembali, meja kursi, meja belajar anak, dan semua pernak-pernik tersenyum bersama kehangatan nakalnya cucu-cucu. Itu kata Si-Bapak, saat berkesempatan mencurahkan perasaan hati, di dekat pagar pintu rumahnya.
Rumah besar, rumah kecil, dan kelengkapannya, sejatinya tergantung dari kehidupan yang terjadi di dalamnya. Hangatnya celoteh dan kedekatan hati penghuninya, akan mengayakan hati dan tidak tergantung pada ukuran rumah dan perabotannya.
Bila jumpa, akan disampaikan kepada Si Bapak, bahwa anak-anak telah punya kehidupannya sendiri, dan cucu-cucu tak mungkin selamanya tinggal bersama.