Bahagianya menjadi karyawan, yang salah satunya adalah saat makan siang, selain gaji bulanan. Janganlah ada intervensi masalah pekerjaan, bila mungkin. Lepaskan lelah dengan canda ceria, meski celotehnya terkadang tak tuntas karena durasi waktu yang dibatasi.
Ritualnya diawali cuci tangan, antri dan mengambil makanan, buah-buahan, dan minuman. Meski telah dijalani berpuluh-puluh tahun, tetap saja dilakukan, karena tuntutan perut yang tak mau diabaikan. Tinggal masalahnya, bila tak suka menu akibatnya tak selera.
Beruntung, bila tak mau dibilang rugi. Kawan-kawan yang bersamaan makan, bagai gayung bersambut. Sebagian dari kawan-kawan, ternyata lucu dan unyu-unyu akibat tak tersalurkan tingkahnya saat bekerja.
Bahkan, mimik wajahnya datar, ketika menghembuskan pancingan humor yang membuat kawan-kawannya terbahak-bahak berurai air mata.
Semisal, ketika menyantap buah jeruk yang kecil dan keriput, wajahnya tampak senyum terpaksa, menahan derita hebat tanpa ekspresi. Sedangkan kawan lainnya, terengah-engah, mata terpejam menahan asamnya jeruk. Keduanya, dipastikan asam banget karena berasal dari kumpulan jeruk yang sama.
Rahasianya, ternyata tak jauh-jauh, jeruk dipaksakan seolah rasa manis karena di depannya ternyata kawan wanita cantik yang manis.
Sambil berkata, "Tergantung siapa di depan, jeruk saya terasa manis karena dia tuch ... yang manis!" Hampir tak kuat menahan senyum, sepotong jeruknya terlepas dari genggaman lidahnya.
Begitulah keceriaan dibangun, aktual, tajam dan menyenangkan, melupakan sedikit kelemahan rasa makan siang yang kurang selera.
"Begitulah kehidupan, kopi ini pahit tanpa gula. Saya ingin belajar memahami pahitnya kehidupan. Biar lebih peduli terhadap penderitaan orang lain," katanya kepada kawan-kawan semeja dengan wajah polos.
Senyum getir ungkapan kopi pahit, meski tersungging, humornya mampu menyingkap gejolak tawa kecil yang tergagap.