Meski lansia, Mak Ning (64 Tahun) terbilang berani malu. Berjoged di acara pengantin, menjadi andalannya. Pulang kondangan, bekalnya bertambah karena saweran uang penonton.
Nadanya tersendat, saat berkisah tentang tetangganya yang pergi umroh. Mak Ning pun ingin umroh, meski terbayang mustahil, karena penghasilannya lebih banyak digunakan untuk membiayai keluarga.
Sumarni, nama lengkapnya. Terlahir di Kota Cimahi, sebagai anak ke-5 dari 6 bersaudara. Cerai hidup, suaminya menikah lagi, dan punya satu anak laki-laki. Anaknya tak lagi mampu mencari nafkah karena sakit psikis, sedangkan menantunya buka warung sekadarnya.
Mak Ning, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga kami, yang non-muslim, sejak anak pertama masih SD, 25 tahun lalu. Masih ada si bungsu di rumah, kedua kakaknya menetap di luar kota, dan mereka semua telah bekerja.
Membersihkan rumah, cuci baju, dan masak adalah pekerjaan sehari-harinya. Terkadang bila istri pergi, hampir semua dikerjakannya sendirian. Bila lelah Mak Ning pun bisa istirahat pulang, rumahnya tak jauh.
Ringannya tangan dan bahagianya hati telah mampu menyehatkan fisiknya. Sementara itu, beberapa kawannya, terlihat banyak yang sakit dan tak berdaya. Usai bekerja sampai tengah hari, Mak Ning sering dimintai tolong tetangga menjualkan pindang ikan keliling kampung.
Ritual selama bulan puasa, kegiatan masak-memasak di rumah seperti biasa, tanpa icip-icip tentunya. Diberikannya bonus pengganti makan siang, di bulan puasa, sangatlah menyenangkannya.
Tak pernah terlihat lelah, malamnya Mak Ning pun tetap tekun shalat tarawih bersama kawan-kawan dan cucunya, belum lagi pengajian rutin menjelang berbuka.
Sikapnya yang selalu ceria, banyak gerak, telah membuatnya sehat dan hidup lebih berarti. Uang lelahnya, sebagian besar telah dihabiskannya untuk kecukupan hidup anak cucunya.