Icha, 9 tahun, anak semata wayang. Bersekolah di SD Negeri, kelas 3, Kota Cimahi. Ayah Icha telah di PHK beberapa tahun lalu, dan tak punya pekerjaan tetap. Meski sebagian uang  pesangon telah digunakan untuk modal buka warung kelontong, kehidupannya belum beranjak dari kemiskinan.
Di ruang tamu, Icha bersiap berangkat sekolah, sambil duduk menyantap sarapan paginya, nasi dan tempe goreng. Tangannya bergerak lamban menyuap nasi ke mulutnya dengan sendok tanpa garpu. Matanya tak fokus menatap nasi. Ada rasa bosan, menu makan yang sama hampir tiap hari.
Tiba-tiba, matanya menatap selembar kertas yang terserak di lantai, tempat Icha duduk. Diambil dan diamatinya. Ternyata Surat Pemberitahuan dari PLN -- Perusahaan Listrik Negara, tentang rencana pencabutan aliran listrik karena telah menunggak dua bulan.
Icha terkejut, selama ini baik-baik saja. Ibu tak pernah sekali pun cerita tentang keterlambatan bayar listrik. Artinya, mulai besok rumahnya akan gelap total.
Dahinya terlipat membentuk garis-garis lengkung. Pagi itu, Icha kecewa berat. Ibunya tak memberi uang jajan pula, saat Icha hendak berangkat ke sekolah.
Kata ibu, "Uangnya dipakai tadi pagi subuh, untuk keperluan belanja di pasar."
Pagi itu, Icha dan Santi berangkat bersama ke sekolah, seperti hari-hari biasanya. Sepanjang perjalanan itu pula, Icha nampak tak begitu semangat becanda.
"Aku tak bisa jajan hari ini," kata hatinya meratap, saat beranjak dari rumahnya hendak menjemput Santi.
"Apa yang harus kukatakan, kalau Santi mengajakku jajan?"tanya Icha dalam hati.
Kekesalan hati Icha, masih mengendap dalam pikirannya, selama jam belajar hingga pelajaran berakhir. Terlebih lagi, sebelum pulang, Bu Guru menyampaikan pengumuman bahwa  akan ada piknik ke Taman Mini Indonesia Indah -- Jakarta, selepas penerimaan rapot beberapa bulan ke depan.
Icha membayangkan apa yang diceritakan Bu Guru. Alangkah senangnya piknik bersama teman-teman naik bis, lewat jalan tol yang selama ini belum pernah dilihatnya.