Siang Bolong, di dalam angkot. Terlihat jelas, lembar demi lembar Novel Ayah, Karya Andrea Hirata, sedang dibaca serius. Pak Karto, 50-an tahun, melahap rakus, lembar demi lembar, tak peduli hiruk pikuk kesemrawutan lalu lintas, dalam perjalanannya menuju Kota Bandung.
“Panas! Maaf Mas, permisi mau geser jendela, biar ada aliran udara,” Pak Karto mengulurkan tangannya, dan mendorong kaca jendela dari posisi duduknya di kanan paling belakang.
Sedikit acuh, tanpa bicara, Si Anak Muda condong ke depan, memberi jalan agar jendela mudah digeser.
Dengan posisi lebih santai, ritual baca buku dilanjutkan. Tak menjadi masalah, ketika sirkulasi udara sudah nyaman, namun posisi kaki terhimpit dengkul seorang bapak yang duduk tepat di depannya. Nyaris penuh, deretan Pak Karto berisi enam, sedangkan di depannya lima.
Lelah membaca, sekaligus sibuk mengatur posisi duduknya, tiga puluh menit kemudian, Pak Karto menandai halaman yang terakhir dibaca dengan penyekat.
“Sepertinya mudah ya, buat novel, seperti orang bercerita pada temannya?” katanya lirih, setelah membaca sekaligus belajar gaya bertutur penulisnya.
Beberapa bulan belakangan, Pak Karto memang terobsesi untuk menjadi penulis novel. Beberapa pelatihan telah dilaluinya. Namun, kebuntuan demi kebuntuan melanda nalar polahnya. Belum satu kata pun, tercoret jelas pada lembar kertas cikal bakal konsepnya novel. Bingung!
Ketika beberapa penumpang, berangsur-angsur turun, lengang sudah ruangan angkot dan kaki pun siap santai diluruskan. Novel Ayah, Andrea Hirata siap dilanjut.
“Wach, sampai halaman berapa tadi, penyekat buku terlepas saat buku dimasukkan ke tas kantong. Oh ya, tadi kalau gak salah, bab yang menjelaskan tentang ‘Ayah Yang Bersembunyi’,” Pak Karto mencoba mengingat-ngingat halaman yang terakhir dibaca.
“Nach, benar khan!”
Ketika semuanya sudah terkondisikan, Sang Sopir berucap, “Batas Kota ... Batas Kota!”.