Mohon tunggu...
Rumail Abbas
Rumail Abbas Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

GusDurian

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

MEMBACA HADITS DARI SYEKH MAHMUD SYALTOUT

20 Juli 2013   23:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:16 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebenarnya Syekh Mahmud Syaltut adalah kategori ulama ahli tafsir (mufassir) dan mufti fiqh di Mesir. Beliau, baik sebelum maupun sesudah menjabat sebagai rector Universitas Al-Azhar, Cairo, sudah dikenal sebagai seorang faqih dalam pendekatan antar madzhab fiqhiyah.

Fatwa paling fonumental Syaltut ialah ketika beliau memperbolehkan orang-orang untuk mengambil jalan madzhab syi’ah sebagai alternatif manhaj mustaqil yang sah-sah saja jika diikuti. Jadi bisa dikatakan bahwa beliau berkecenderungan hukum Islam dalam grand pemikiran besarnya.

Hal tersebut bisa jadi mungkin karena pengaruh pendahulu beliau di Al-Azhar, seperti Syekh Muhammad Abduh yang, pada masa itu, karena alasan dan latar belakang politik Mesir, sangat bersemangat untuk memulihkan syari’ah sebagaimana seharusnya dia hidup di jamannya masing-masing.

Terlebih ketika Syekh Muhammad Abduh diberi kepercayaan sebagai Mufti Mesir sekembalinya dari Perancis pada tahun 1884. Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk kembali berjuang meniupkan ruh perubahan dan kebangkitan kepada umat Islam (terutama di Mesir, negeri pharaoh tersebut).

Tema tersebut memang patut diangkat pendahulu Syaltut, seperti Muhammad Abduh, berdasarkan rasa butuh atas kajian dimensi progresif dari kebangkitan umat Islam. Kebangkitan Islam itu sendiri yang biasa ditarik ke belakang sejak abad 19 memiliki karakter rational and cosmopolitan approach dalam mengkaji problematika masyarakat Islam.

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran Syaltut didominasi dan berangkar dari analisa hadits (maupun sunnah) dengan pendekatan fiqhiyah-nya. Karena bagaimanapun, seorang pemikir akan melangkahkan pemikirannya pada dua fondamen paling esensial Islam; Quran dan Hadits.

Kedudukan hadits sebagai sumber dasar pokok kedua setelah Al-Qur’an, menurut Syaltut, mempunyai 3 (tiga) fungsi terhadap Al-Qur’an yaitu:

·As-Sunah sebagai penguat terhadap hukum syara’ yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

·As-Sunah menjelaskan globalitas Al-Qur’an dan menafsirkan hukum-hukum syara’. Dalam hal ini, As-Sunah berfungsi men-tahshish-kan keumuman Al-Qur’an dan berfungsi membatasi (taqyid) kemutlakan Al-Qur’an atau menjelaskan maksudnya yang belum jelas.

·As-Sunnah membangun sandaran hukum baru yang tidak disebut di dalam Al-Qur’an

Dipertegasnya lagi tentang faidah mendasarkan sesuatu dengan hadits ialah karena hadits:

·Menjelaskan sistem Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan menerangkan hal-hal kecil yang tidak terdapat di dalamnya.

·Menyimpulkan metode kehidupan Rasulullah saw. bersama para sahabatnya, perlakuannya terhadap anak-anak dan penanaman keimanan ke dalam jiwa yang dilakukannya.

Syaltut menyakini bahwa cara untuk mengetahui bagaimana Nabi menyampaikan Islam ialah dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapi beliau ketika itu. Karenanya, Nabi selalu memperhatikan adat istiadat penduduk setempat, dan kondisi yang mengitari Nabi.

Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan, dari pandangan ini Syaltut menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah (pioneer madzhab hanafi) lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadits-hadits pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadits daripada koleksi belaka.

Atas dasar pandangan semacam inilah Syaltut seringkali bilang bahwa Hukum Islam seringkali digugat sebagi penyebab munculnya image Islam sebagai agama normatif dan tradisional. Lambannya, kalau tidak mandegnya, perkembangan hukum Islam paska fase kodifikasi telah memposisikan ketertinggalan Islam jauh di belakang  perkembangan peradaban manusia secara umum.

Isu tertutupnya pintu ijtihad yang sangat mendominasi selama berabad-abad benar-benar menjadikan umat Islam bergantung kepada referensi intelektual abad pertengahan yang dibarengi oleh ketidakmanpuan berdialog dengan realitas yang senantiasa berkembang.

Syaltut pernah berdialog dengan tokoh-tokoh besar Syi’ah lewat suratnya yang dilayangkan pada, seperti, Muhammad Husein Kasyiful Ghita, Sayyid Abdul Husein Syarafuddin Amili, dan Ayatullah Sayyid Husein Borujerdi. Syaltut mengajak diskusi materi banyak hal, tentunya berbau madzhabi, dengan tokoh-tokoh tersebut, antara lain:

·Menyebarkan pemikiran pendekatan antar mazhab Islam untuk menghilangkan pertikaian dan mendirikan yayasan pendekatan antar mazhab Islam di Kairo yang bernama "Dar Al-Taqrib wa Nasyri Majallah Risalah Al-Islam".

·Mengumpulkan dan mengoreksi validitas hadis-hadis yang sama antara Ahli Sunah dan Syi’ah, yang berhubungan dengan pendekatan antar mazhab.

Memasukkan fiqh Syi’ah dalam mata pelajaran fiqh Islam komperatif untuk mahasiswa universitas al-Azhar.

·Dan, yang terpenting adalah fatwa beliau yang telah membenarkan mazhab Syi’ah sebagai salah satu mazhab yang sah dan boleh diikuti.

Padahal, sampai saat itu belum ada ulama besar dari Ahli Sunah maupun mufti Al-Azhar yang pernah memberikan fatwa seperti itu. Dengan fatwa ini, Syaltut telah menunjukkan kebesarannya dan memperkecil jarak antar mazhab.

Karenanya Syaltut telah membangkitkan semangat rakyat dengan memompa kepercayaan diri ('Izzatunnafs). Stigma yang bisa membuat pesimistis para peminat ilmu-ilmu keislaman tradisional itu, sudah barang tentu harus dikikis karena akan membahayakan upaya pengembangan disiplin ilmu tersebut. Oleh karena itu, tepat sekali Syaltut mengatakan bahwa apabila umat di masa lalu telah sungguh-sungguh merasakan betapa perlunya menyederhanakan ilmu seperti nahwu, sharf, balaghah, dan lain-lain, demikian pula seharusnya mereka bersikap terhadap ilmu ushul al-fiqh.

Bagaimanapun, kendati perangkat kaidah-kaidah yang kini menjadi bagian dari ilmu ushul al-fiqh diinspirasi lebih banyak oleh hadits, tidak serta-merta kemudian sifat sakral dari kedua sumber utama ajaran Islam itu terus menempel.

Setiap ilmu itu bersifat nisbi dan relatif tingkat kebenarannya. Ilmu tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang sudah pasti, berhenti, dan tidak bisa dipermasalahkan lagi tingkat aktualitasnya. Setiap ilmu harus dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pengembangan daya nalar dan kreativitas kaum Muslim pada masa tertentu.

Oleh karena itu, suatu ilmu bisa saja akan tampak canggih dan berwibawa dalam memberikan solusi-solusi berbagai permasalahan hukum Islam pada masa lalu, tetapi bisa jadi tampak tak berdaya bila diterapkan pada masa sekarang ini. Ini amat wajar terjadi, karena ia disusun dalam kondisi historis dan dipengaruhi oleh watak problematika hukum Islam yang menjadi pembahasan hukum Islam waktu itu (abad pertengahan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun