Mohon tunggu...
Rumail Abbas
Rumail Abbas Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

GusDurian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno

22 Juni 2013   02:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:37 15463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sebenarnya tulisan ini bukan murni resensi buku "Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno". Mungkin lebih tepatnya rekfleksi. Awalnya pada sore kemarin (terhitung entri ini dipublikasikan) saya berdiskusi dengan seorang teman peneliti di Jepara. Di sela-sela obrolan, muncullah nama PETA. Lantas saya berpanjang-lebar--secara tidak sadar--mengungkit Pak Andar yang asal Semarang yang menurut Baskara T. Wardaya (penulis buku tersebut) adalah Supriyadi yang hilang. Jadi, tulisan ini lebih berkesan me-refresh apa yang saya ketahui sebelumnya tentang Supriyadi.) "Buku ini bermaksud menawarkan kemungkinan jawaban." Kata Baskara T. Wardaya. Jawaban ada jika sebelumnya ada pertanyaan. Pertanyaan yang ingin dijawab Baskara adalah: Setelah Februari 1945, bagaimanakah nasib Supriyadi? Tertangkap? Siapa saksi matanya?! Mati? Lantas dimana makamnya?! Ataukah masih hidup? Kemudian adakah yang mengetahui rimbanya? Sebenarnya ada beberapa pahlawan Nasional (revolusi) Indonesia yang tidak diketahui makamnya. Salah satunya ada Supriyadi. Karena dianggap misterius, maka tidak menjadi heran  jika setidaknya ada 5 (lima) orang yang mengaku Supriyadi. Ki Utomo Darmadi, ayah Supriyadi yang menjabat sebagai Bupati Blitar 1945-1956, sampai harus dipertemukan dengan lima orang yang mengaku ini dan menyeleksi siapakah yang benar diantara kelima orang tersebut, dan siapakah yang benar-benar anaknya; Supriyadi. Shodancho Supriyadi dikenal sebagai pemimpin pemberontakan militer terhadap tentara Dai Nippon di Blitar pada bulan 14 Februari 1945. Sayangnya pemberontakan ini gagal. Kampetai terlalu kuat sehingga keberlangsungan aksi militer ini tidak terlalu lama. Kegagalan ini berbuntut pada Yukeki, yang bertugas secara teknis dan administratif mengawasi PETA, menyisir tempat pelarian pemberontak tersebut sampai ke sudut desa dan hutan paling jauh. Di tengah hilang-timbulnya Supriyadi, pada tanggal 06 Oktober 1945 Presiden Soekarno membacakan Maklumat Pemerintah yang berisi tentang pengangkatan Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Karena belum ada kabarnya, maka pada tanggal 20 Oktober 1945 posisi tersebut digantikan Muhammad Soeljoadikoesoema. Sampai adanya kekosongan cerita tentang Supriyadi hingga pada akhirnya pada tanggal 09 Agustus 1975 pemerintahan Presiden Soeharto mengangkat Supriyadi sebagai Pahlawan Nasional. Pada saat Baskara memberikan kesimpulan hasil wawancaranya dengan Andaryoko, kemudian dia bernarasi dalam bukunya tersebut, saya cenderung menyebutnya sebagai narasi alternatif dari beberapa kesepakatan kisah tentang Supriyadi yang dilakukan Baskara sebagai sejarah alternatif dari sejarah standar yang sudah dipelintir pada masa Oede Baru. Baskara mengisahkan bagaimana Orde Baru membuat baku sejarah yang hanya sewarna, sehingga perlu kajian ulang sejarah secara berani. Sepahit apapun kebenaran yang kemudian lahir karenanya. Baskara ingin menunjukkan hasil penelitian lain yang kesimpulannya cukup berani karena diluar mainstream sejarah yang beredar hingga kini. Asvi Warman Adam, Penelaah Ahli dalam buku tersebut, dalam Opininya di Jawa Pos terkesan menertawakan cerita-cerita Andaryoko aka Supriyadi yang diwawancarai Baskara. "Andaryoko mengatakan Supersemar itu tidak ada. Ada-ada saja." Kata Asvi. Namun secara ilmiah Asvi menabrakkan kesaksian-kesaksian Andaryoko dengan beberapa hal--yang kemudian Asvi sendiri berkeyakinan Andaryoko bukanlah Supriyadi:

  • Andaryoko mengisahkan bahwa persiapan penyusunan naskah proklamasi berada di kediaman Soekarno, namun semua sumber menyebutkan bahwa itu dilakukan di rumah Maeda,
  • Andaryoko mengaku dialah pemuda bercelana pendek yang mengangkat bendera pada Proklamasi 17 agustus 1945 didampingi Latief Hendraningrat, padahal Latief Hendraningrat berkesaksian bahwa pemuda bercelana pendek tersebut kemudian dikenalnya sebagai Soehoed Prawiroatmodjo. Dan bukti ini tidak terbantahkan,
  • Pada November 1945 Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR), namun Andaryoko mengakui bahwa dialah Panglima TKR.

Peneliti Sosial Politik, George J. Aditjondro, pada bagian pengantar sangat mantap bahwa kesaksian Andaryoko sebagai Supriyadi sangatlah mampu untuk dipertahankan. Dan seperti yang telah saya sebutkan, Asvi Warman sempat menertawakan kesaksian Andaryoko tersebut. Bagaimana dengan Anda? Tautan: Klik Disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun