Oleh: Dr. Siti Habibah, M. Hum., M.A
(Ketua STAI Al-Furqan Makassar)Â
___
Di awal catatan ini, saya buka dengan sebuah kutipan dari Nawal El-Sadawi dalam bukunya bertajuk; (Perempuan dalam Budaya Patriarki).Â
"Praktek patriarki paling kuno adalah rumah tangga, yang untuk dapat mengubahnya laki-laki kadang harus bekerjasama membuat perubahan itu."
Dalam lanskap perjuangan perempuan dalam berumah tangga, maka tepat dan begitu cermat Nawal El-Sadawi dalam menggores pemikirannya untuk kita dapat lebih paham bagian paling "terluka" dan "berdarah" bagi pe-rumah-tanggaan kaum perempuan.Â
Walau (masih dan terus) saja, ada gelombang penolakan dan pertengkaran ihwal praktek patriarki dalam rumah tangga, disebab-akibatkan adanya peran-peran domestik perempuan dalam rumah tangga. Sebagimana yang dilukiskan dalam Novel "Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan" karya sastrawan Mesir (Ihsan Abdul Quddus).Â
Yang menceritakan seorang perempuan yang berjuang sampai ke tangga kasta paling tinggi dalam karir. Ia berkeluarga namun menolak peran ibu dan istri pada saat yang sama. Sehingga tokoh utama dalam cerita itu, meski telah menikah berkali-kali ia tetap menyayangi dan mencintai diri sendiri.Â
Apalagi. Mengingat masih adanya kuat--menguatnya adat yang mengekang "kaum perempuan" (walau masih dalam tatanan keluarga besar, walau juga telah semakin terkikis). Ditambah lagi, patriarki dalam rumah tangga menjadi keutuhan--kesinambungan yang tak bisa terpisahkan, sehingga perempuan terjebak dalam kodrat legitimate untuk sebuah urusan dan kerja domestik: Menerima dengan sabar tugas itu, meski disaat yang sama harus mengiris dan menahan sayatan di hati.Â
Tragis pun bengisnya, kita harus mengakui bahwa itulah yang terjadi, kultur agar perempuan tidak protes ketika sudah menjadi istri atau ibu akan menjadi pemandangan diharuskan diam-diam saja. Perempuan akan mendapat justifikasi dan kodifikasi dalam list perempuan yang bukan ibu atau istri yang baik.Â
Domestikasi perempuan dapat diartikan sebagai penempatan perempuan sebagai pengibu-rumah-tanggahan yang dinilai sangat berat untuk dijalankan dan dirawat di peradaban milennium baru ini. Olehnya pada tahun 1960-an gerakan feminism menentangnya sejadi-jadinya, yang menghimpunkan paradigma bahwa pengambil-alihan semua tugas rumah tangga yang tak ada habis-putusnya untuk ibu atau istri adalah salah satu bentuk "perbudakan" perempuan.Â