Mohon tunggu...
Siti Adila Khoiridah
Siti Adila Khoiridah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo! Saya Adila, dan saya adalah seorang individu yang penuh semangat dan kreativitas. Saya memiliki kemampuan untuk melihat dunia dari perspektif yang unik dan selalu mencari cara-cara baru untuk mengekspresikan diri dan membuat dampak positif. Saya memiliki minat yang mendalam dalam menulis, yang telah membawa saya melalui berbagai pengalaman yang memperkaya pengetahuan dan keterampilan saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Petani Tersungkur Tarian Deflasi, Negara Agraris yang Terkapar di Tengah Krisis

8 Oktober 2024   09:20 Diperbarui: 8 Oktober 2024   09:25 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengingat Indonesia adalah negara agraris, industri pertanian sangat penting bagi perekonomian negara secara keseluruhan. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya masyarakat yang tinggal dan bekerja di sektor pertanian. Namun predikat agraris menghadapi tantangan besar ketika muncul opini bahwa negara ini juga rentan mengalami krisis pangan. Hal ini tampak kontradiktif, mengingat Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dan sebagian besar penduduknya bergantung pada sektor pertanian.

Indonesia mengalami permasalahan yang kompleks, saat ini memegang status negara tersandera krisis pangan akibat produksi pertanian yang tidak optimal dan cenderung stagnan. Hal ini dipicu karena perubahan iklim, pupuk mahal, belum lagi regenerasi petani yang semakin menurun. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia telah mengalami peningkatan ketimpangan ketahanan pangan dalam beberapa tahun terakhir. 19,16 juta orang, atau sekitar 7,38% dari total penduduk Indonesia, menghadapi krisis pangan pada tahun 2020.

Selain itu, informasi dari data Food and Agriculture Organization (FAO)  menunjukkan bahwa sekitar 35 juta orang Indonesia mengalami kekurangan gizi pada tahun 2020. Malnutrisi dapat bermanifestasi sebagai nutrisi yang tidak seimbang, yakni dalam bentuk kekurangan maupun kelebihan gizi. Sektor pertanian di Indonesia merupakan salah satu faktor utama yang terlibat dalam masalah pangan negara. Makanan bagi penduduk sebagian besar disediakan oleh pertanian. Meskipun demikian, masih ada sejumlah masalah yang dihadapi dalam sektor pertanian Indonesia, termasuk kurangnya akses ke pasar, keterbatasan penggunaan lahan, hasil panen yang dipengaruhi oleh perubahan iklim, dan kurangnya teknologi pertanian yang modern.

Selain itu, rendahnya inovasi dan dukungan pembiayaan yang diberikan kepada sektor pertanian juga menjadi faktor penyebab krisis pangan. Sangat menantang bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian mereka tanpa adanya dua faktor ini. Krisis pangan juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Masalah krisis pangan terkait erat dengan tingkat kemiskinan Indonesia. Malnutrisi adalah kemungkinan bagi populasi miskin karena mereka seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan yang cukup.

Fenomena ini semakin rumit dengan adanya deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut. BPS mengumumkan bahwa Indonesia mengalami deflasi secara bulanan (month to month/mtm) sebesar 0,12% pada September 2024. Dimana jika dihitung secara tahunan (year on year/yoy ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024, kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebutkan bahwa deflasi saat ini menjadi deflasi terparah dalam 5 tahun terakhir kepemimpinan Presiden Jokowi.

Deflasi merupakan penurunan harga barang-barang karena melemahnya permintaan, yang terpengaruh salah satunya di sektor makanan, minuman dan tembakau sebanyak 0,59%. Harga bahan makanan menjadi menurun seperti cabai dan bawang, tentunya hal ini menjadi kabar baik bagi sebagian besar ibu rumah tangga karena penurunan harga tersebut. Dan hal ini juga bisa menjadi peluang yang menguntungkan untuk memperbaiki malnutrisi yang menjamur di sebagian daerah terpencil masyarakat Indonesia kelas menengah kebawah, dengan turunnya harga pangan daya beli masyarakat pun semakin meningkat.

Namun pada kenyataannya kondisi saat ini sangat tidak ideal, sekilas menguntungkan bagi konsumen namun deflasi mengindikasikan lemahnya geliat ekonomi dan daya beli masyarakat, apalagi telah terjadi selama 5 bulan berturut-turut. Deflasi terjadi karena lapangan kerja terbatas dan biaya hidup semakin mahal sehingga ada kecenderungan minat beli rendah. Dengan adanya tarif pajak yang besar-besaran membuat masyarakat khususnya kelas menengah kebawah kewalahan untuk memenuhi kewajiban tersebut, sehingga masyarakat cenderung memilih untuk tidak membeli barang-barang sekunder terutama dalam bidang manufaktur. Hal ini berdampak pada terjadinya fenomena PHK besar-besaran yang diakibatkan karena berkurangnya minat beli sehingga muncul rasio kerugian yang sangat besar. Sehingga hal ini akan semakin memperumit keadaan ekonomi masyarakat Indonesia dan kekhawatiran kurangnya asupan pangan yang baik.

Dengan adanya deflasi yang mencekik petani membuat masalah pangan semakin kompleks, harga penjualan pangan yang semakin anjlok membuat petani semakin ogah-ogahan untuk memasarkan hasil taninya. Belum lagi buruh tani yang tidak memiliki lahan tani sepenuhnya sehingga keuntungan dalam bertani nihil di dapatkan. Deflasi memang sangat menguntungkan konsumen karena harga pasarnya menurun drastis, namun apakah hal ini akan membuat masyarakat sorak sorai dalam jangka waktu lama? Tentu saja tidak, dengan adanya deflasi hal ini membuktikan bahwa keadaan penghasilan masyarakat Indonesia semakin turun kian waktu, harga pasar turun dan mengakibatkan banyak petani beralih profesi karena kerugian yang terus menghantui.

Salah satu yang langsung merasakan dampaknya ialah petani kubis di Magelang Jawa Tengah, ratusan kilogram kubis siap panen dibiarkan membusuk di tengah ladang. Pasalnya jika dipanen hanya akan menambah ongkos angkut dan semakin merugi, saking anjloknya kubis yang biasa dihargai Rp1000 per kilogram kini dihargai Rp300 – Rp500 per kilogram, harga itu merupakan yang terendah sejak tiga tahun terakhir. Turunnya harga sayuran terjadi setelah Idul Fitri atau pada April 2024. Penyebab turunnya harga jual tersebut dikarenakan panen kubis secara besar-besaran sehingga stok kubis membludak dan membuat pasar jual menurun, ditambah fenomena deflasi yang turut memperkeruh. Sebagian petani kubis pasrah membandrol kubis seharga Rp300 per kilo dan juga terdapat beberapa petani yang memilih untuk menghibahkan puluhan ton kubisnya secara cuma-cuma kepada masyarakat.

Jika ditelisik lebih dalam hal ini tentunya akan sangat berdampak buruk kepada petani dalam jangka panjang yang kemungkinan minat bertani semakin menurun, dan akan menyebabkan krisis pangan di Indonesia semakin terealisasikan. Petani semakin sempoyongan menghadapi krisis saat ini apalagi regenerasi petani semakin berkurang karena dirasa horor mengalami pemasukan yang tidak optimal, stigma profesi petani semakin buruk di kalangan anak muda yang akan menjadi generasi penerus dan hal ini akan menyebabkan ketahanan pangan Indonesia melemah. Berikut adalah analisis mengenai mengapa hal ini terjadi dan kaitannya dengan kesejahteraan pangan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun