Di kota Depok, 01.23 AM, sudah berganti tanggal setelah sebelumnya 21 Februari 2017. Sudah terasa lama tidak menulis di subuh hari begini, ada perasaan menggebu ingin menuliskan sesuatu, walau belum tahu apa yang hendak ditulis. Memang awalnya ada beberapa ide yang menyesakkan dipikiran untuk dikeluarkan dalam bentuk tulisan. Namun, sampai pada kalimat ini, belum juga saya putuskan untuk menulis hal apa.
Sebelum meneruskan tulisan ini, saya tekan tombol Ctrl dan A berbarengan. Entah kenapa setiap kali menulis saya harus melakukan ini, saya cari jenis fontyang sesuai dengan moodsaya dan memilih Book Antiquatanpa mengubah font size-nya.Laiknya, hal ini saya lakukan untuk memacu otak saya agar segera mengeluarkan ide tulisan yang hendak ditulis.
Baiklah, saya harus menggugurkan beberapa ide yang bermunculan di pikiran, saya putuskan menulis sebuah keresahan akan keadaan Indonesia belakangan ini. Saya belum yakin, jatuhnya akan cenderung curhat (mungkin) daripada terlihat ilmiah.
Indonesia, ya terdiri dari banyak suku dan agama. Sebentar, bukan hendak menggurui, agama yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP) kita, sebenarnya bukanlah agama asli Indonesia melainkan agama yang dibawa dari luar Indonesia. Ssst, agak kontradiktif memang ketika kita menggembor-gemborkan bahwa kita harus mencintai produk-produk dalam negeri tapi kolom agama pada KTP hanya diisi enam (dulu lima) agama yang semuanya bukan agama asli Indonesia.
Tom, selain agama yang ada di kolom KTP itu, bukan agama namanya tapi aliran kepercayaan, juga tidak resmi. Astaga, selain tidak diakui sebagai agama (yang saya belum mengerti sebenarnya perbedaan yang mendasar dari agama dan aliran kepercayaan itu apa) juga ada embel-embel ‘tidak resmi’, paling tidak itulah yang saya temui dalam KBBI yang saya punya. Hmm, karena ada label tidak resmi tadi, maka otomatis semua penganut aliran kepercayaan harus memilih salah satu agama yang (hadeh, berat menuliskan bagian ini, walau masih dalam suasana menggebu) resmi, yang diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, kalau tidak, tahu sendiri akibatnya. Untuk ini, terpaksa atau dipaksa? Dua-duanya ya!
Baik, perihal peristilahan antara agama dan aliran kepercayaan serta resmi dan tidak resmi itu tidak usah kita bahas panjang kali lebar, tohkita mengabaikannya sudah begitu lama, dan siapa perduli dengan hal itu. Kontradiktif? Memang.
Perihal Agama dan Keprcayaan adanya Tuhan. Beberapa hari yang lalu, pertama sekali saya membaca buku Nietzsche, belumlah selesai semuanya, namun sejauh ini yang boleh saya simpulkan adalah perkataan-perkataan Nietzsche ada benarnya. Dalam kehidupan kita sehari-hari kadang kita bertindak gegabah dan merasa pantas membela Tuhan, seolah-oleh Tuhan memang perlu untuk dibela.
Nietzsche pernah berkata “Tuhan sudah mati. Pembunuhnya adalah kita.” karena Tuhan sudah mati, maka Nietzsche bertanya lagi, “Tidak haruskah diri kita sendiri menjadi dewa-dewa sekedar agar tampak pantas melakukannya?”. Sebagai kesimpulan sementara, Nietzsche sebenarnya dulu sedang menegur bahwa kita sudah bertindak seperti Tuhan, yang mengaku melakukan sesuatu karena perintah Tuhan untuk melakukannya.
Melihat peristiwa demi peristiwa yang terjadi, dengan membela Tuhan, bertindak laiknya Tuhan, sebenarnya kita sedang menyangkal kekuasaan Tuhan sendiri, dalam bahasa Nietzsche disebut kita sedang membunuh Tuhan.
Kita sering terlambat menyadari bahwa kita sedang dipecah belah oleh oknum-oknum yang ingin menguasai tidak hanya Sumber Daya Alam tapi juga segala kemerdekaan kita dan mengkondisikan agar kita tetap bergantung dan berpengharapan pada oknum-oknum itu. Kita membunuh Tuhan sekaligus menciptakan Tuhan yang baru.
Negara sedang genting, saya harus segera menyelesaikan tulisan ini, selain sudah mengantuk, baterai laptop juga sudah tinggal sedikit. Sebelum tidur, ada dua pertanyaan yang perlu saya ajukan, apakah kita mesti berjuang agar Negara segera meresmikan aliran kepercayaan yang masih dilabeli tidak resmi itu? dan Masih perlukah kita berusaha membela Tuhan?