Mohon tunggu...
Tomson Sabungan Silalahi
Tomson Sabungan Silalahi Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pembelajar!

Penikmat film dan buku!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Manusia-manusia Tidak Berguna!

18 Mei 2019   11:12 Diperbarui: 5 Desember 2019   00:41 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam bukunya “Homo Deus” Prof. Yuval Noah Harari memprediksi akan semakin banyak manusia yang tidak berguna[1] (useless people) pada masa yang akan datang seiring dengan perkembangan teknologi dengan adanya Artificial Intelligent – kecerdasan buatan yang dimodifikasi dengan bio teknologi. Tenaga manusia yang digunakan saat ini, misalnya kasir, bisa saja digantikan oleh mesin/robot. Kalau kita perhatikan, beberapa tahun belakangan ini, ada banyak mesin penjual makanan dan minuman di tempat-tempat tertentu, bandara dan stasiun kereta, misalnya. Hal ini tentu boleh mengafirmasi prediksi Yuval di atas. Singkatnya, angka pengangguran akan meningkat tajam di seluruh dunia.

Di Indonesia, bisa diprediksi angka pengangguran akan signifikan meningkat. Pasalnya, alih-alih menguasai teknologi, tingkat literasi masyarakat Indonesia masih memprihatinkan. Dari 61 negara, Indonesia menempati urutan ke-60 di bawah Thailand yang menduduki peringkat ke-59. Rendahnya tingkat literasi ini selain karena membaca belum menjadi kebiasaan juga diperparah oleh fasilitas pendidikan yang belum memadai[2]. 

Di tengah kenyataan literasi yang rendah itu, bermunculan pula hoaks di berbagai platform sosial media yang sering digunakan masyarakat Indonesia. Kampanye untuk perang melawan hoaks memang selalu didengungkan, namun apa daya, apabila tingkat literasi masih pas-pasan, tetap saja akan gampang termakan hoaks. Belum lagi dengan ujaran-ujaran kebencian, semua itu akan memperparah keadaan. Masyarakat Indonesia akan dengan gampang disulut amarahnya ketika tidak mampu menyaring informasi secara kritis.

Sudah tidak melek teknologi, kemampuan literasi kurang memadai (kalua tidak mau dibilang hancur-hancuran), kemudian muncul hoaks di mana-mana, lengkaplah. Tentu saja akan tetap menjadi momok jika tidak segera diselesaikan.

Nasionalisme di Tengah Pemerintahan yang Korup

Pemerintah baik Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif harus benar-benar bekerja secara jujur untuk memutus rantai permasalahan dasar di atas. Sudah saatnya berhenti memperkaya diri. Mencukupkan diri dengan gaji yang ada. Berhentilah melakukan tindakan-tindakan korup agar bisa memberikan fasilitas yang memadai bagi sekolah-sekolah di pelosok Nusantara. Agar bisa meningkatkan mutu pengajar di seluruh Indonesia dan pada akhirnya hoaks dan ujaran kebencian tidak lagi memecah belah anak bangsa. Harapannya, suatu saat kita akan menjadi bangsa yang memiliki anak-anak yang melek teknologi dan ikut berpartisipasi membangun dunia yang lebih baik, tidak lagi duduk di bangku penonton sambil menunggu uluran tangan kasih bangsa lain atas semua masalah-masalah yang kita hadapi.

Semoga kita masih bisa berpengharapan, pasalnya sejak KPK, lembaga anti rasuah itu didirikan tahun 2002, masalah korupsi masih saja menjadi trending topic di media-media besar Indonesia sampai saat ini. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk dituntaskan. Mulai dari diri sendiri. Mengapa? Karena kita (termasuk saya) sadar atau tidak sadar kadang memaklumi perilaku korup diri sendiri dan kerap mengutuk perilaku korup teman atas keterlambatannya untuk menghadiri rapat, misalnya. Semua manusia Indonesia harus tobat nasional.

Isu korupsi belum selesai muncul pula isu radikalisme. Indonesia tidak luput dari paham itu. Kebangkitan pihak-pihak ekstrimis ini bukanlah tanpa sebab. Ketidakpercayaan akan pemerintahan adalah salah satu alasannya. Mengapa tidak percaya? Tidak perlu ditanya lagi, jawabannya, ya karena orang-orang yang seharusnya menjamin kesejahteraan masyarakat Indonesia malah menyengsarakannya dengan memelihara perilaku korup masing-masing.

Nasionalisme yang Usang

Selain kehadiran paham-paham radikal, muncul pula pendapat para milenial bahwa nasionalsime sudah usang, tidak relevan lagi. Para milenial lebih memilih menjadi masyarakat dunia yang memiliki satu pemerintahan[3]. Survei dilakukan di 15 negara termasuk di dalamnya Rusia, Amerika dan India. Milenial di negara-negara yang disurvei sudah berpikiran lebih terbuka. Tidak hanya satu pemerintahan tapi juga satu mata uang, keinginan untuk bersatu daripada dipisah-pisah oleh teritori-teritori negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun