Aura mencekam melayang-layang di atas langit lembah Sukurumuk. Udara dingin mengambang di antara pepohonan kering. Sinar mentari pagi muda yang mulai munculpun tak mampu menghalau rasa dingin yang menusuk sungsum. Bayangan gunung di balik kabut terlihat seperti raksasa yang hendak menelan seluruh isi lembah. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Rumah-rumah ilalang yang biasanya hangat dengan kerlip tungku api di tengah-tengahnya nampak sunyi.Yang memperlihatkan kalau di situ masih ada kehidupan hanyalah gerombol laki-laki berpanah yang berjaga di tiap-tiap sudut. Bau peperangan tersembul dari mana-mana. Jajaran pohon kelapa hutan (genus pandannus) seakan berbarisikut bersiaga. Hari itu dua suku yang telah lama hidup berdampingan hendak membuat perhitungan dengan caranya.
“Kita akan membuat sejarah. Nenek moyang kita belum pernah melakukannya.” Suara kepala suku menggelegar di antara bunyi gemeletuk gigi-giginya. Mukanya nampak menahan kecewa dan amarah luar biasa. Ia memandangi satu-persatu laki-laki yang berdiri di sekelilingnya. Mereka manggut-manggut tanpa suara, hanya bunyi rahang beradu yang sama keluar dari mulutnya. Semua diam sambil tetap mempertahan kanpandangannya ke seberang gunung yang sebagian tubuhnya masih terselimuti kabut.
Tiba-tiba laki-laki yang berdiri di sampingkepala suku meretas keheningan,”Orang-orang Aningguk telah menjual hidup kita! Mereka berhianat.” Semua serentak membelalakkan mata ke arahnya.
“Aretak, kamu benar sekali. Dan kalau hari ini kita pergi ke sana untuk mengembalikan pinangan putriku, kita sedang membuat perhitungan. Memang nenek moyang tak pernah mengajarkan cara menyelesaikan masalah dengan cara gigi diganti gigi, tetapi ini sudah tak ada cara lain.”Kata kepala suku dengan nada tegas. Laki-laki yang dipanggil Aretak manggut-manggut sambil menampakkan seringai semangat yang meluap-luap.
“Apakah mereka bisa menelan nasi di mulutnya ketika melihat bukit kita tercabik-cabik dengan luka-luka menganga seperti itu?” Kata Aretak lagi dengan masgul. Ia mengacungkan-acungkan jarinya ke arah perbukitan yang nampak compang-camping oleh bekas-bekas galian berwarna coklat.
“Apakah kamu bisa?” Kepala suku balik bertanya dengan suara berat berwibawa. Semua diam sambil terus memandangi luka menyedihkan di kejauhan.
Setelah hening beberapa saat laki-laki tegap itu bergumam, “Kalau saya mungkin tak bisa, lebih baik mati kelaparan daripada menjual tanah – ibu kita sendiri. Apalagi menyerahkannya kepada para pengambil serakah itu.” Kerumunan laki-laki tersebut kelihatan tegang menahan geram. Tiba-tiba salah seorang berteriak dengan suara melengking yang disambut rekan-rekannya, “hu hu hu hu hu hu hu…!” Pekikanitu terdengar begitu magis dan membangkitkan semangat, sehingga kerumunan-kerumunan dari penjuru lain ikut berteriak. Kemarahan mereka terpantul di dinding-dinding bukit yang menaungi lembah. Bergemuruh dan meluap-luap!
Laki-laki suku Sukurumuk berangkat ke lembah perkampungan suku Aningguk untuk menuntut pertanggungjawaban. Para perempuan keluar rumah ilalang dengan merunduk-runduk untuk melambaikan tangan dan mengucapkan doa. Anak-anak tak diijinkan keluar rumah. Seorang gadis manis mengintip daricelah-celah dinding kayu. Matanya menangis. Dadanya naik turun seperti sedang menahan pedih. Namun dengusnya menggemakan suara lain, semacam gejolak semangat, mendukung perjuangan para lelaki yang sedang memekik-mekik itu. Bayangan pemuda mata elang terus menari-nari di pelupuk matanya.Pada saat yang sama jiwanya geram oleh amarah, ia tak percaya laki-laki pujaannya hanya berdiam diri ketika tanah mereka digaruk-garuk oleh tangan-tangan raksasa.
***
Pakuwa, gadis remaja hitam manis itu mengenang pertemuan pertamanya dengan pemuda jangkung tampan bernama Dhiblaa. Itu terjadi sudah lama sekali, kira-kira sepuluhan musim panen kelapa hutan yang lalu. Ketika itu mereka masih kecil, baru tanggal gigi-gigi susunya. Keduanya dibawa oleh ayah mereka bersama anak-anak lain dari wilayah gunung Mamakwe untuk belajar Melek Huruf. Pelajaran membaca menulis itu dipandu oleh sepasang pekerja soial. Mereka tinggal di pusat kecamatan, tempat pesawat kecil biasa mendarat. Hati Pakuwa yang kalut tiba-tiba berdesir. Ia ingat bagaimana cara Dhiblaa kala itu memandang dirinya dengan senyum manis melengkung di sudut bibirnya. Sementara waktu itu ia hanya berani mengintip dari balik lengan kokoh ayahnya, meski dirinya tahu kalau kedua lelaki kepala suku itu saling mengenal.
Lalu Mama Lilian begitu perempuan pekerja kemanusiaan itu dipanggil, menarik tangannya dan mengajaknya bersalaman dengan laki-laki kecil bermuka ramah itu. Selanjutnya mereka sering bertemu di kelas Melek Huruf. Mereka tinggal di asrama. Saat pelajaran atau makan malam, Pakuwa mencuri pandang ke arah Dhiblaa yang diam-diam juga tengah menatapnya. Bahkan saat praktek kebun, anak laki-lakiitu sering membantu merawat bedeng sayurnya. Mereka menjadi dekat satu sama lain, merasa senasip karena berasal dari lembah dan gunung yang sama.