Mohon tunggu...
Sari Mulyani
Sari Mulyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sari Mulyani | 33222010007 | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB | Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

QUIZ - Diskursus Sigmund Freud dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

14 Desember 2023   18:47 Diperbarui: 14 Desember 2023   18:47 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

No. Absen : 5

Nama : Sari Mulyani

NIM  : 33222010007
Quiz Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB



Apa Itu Korupsi?

      Korupsi adalah suatu tindakan yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dalam pemerintahan untuk keuntungan pribadi atau golongan tertentu. Dalam banyak negara, korupsi telah menjadi masalah serius yang merugikan perekonomian, menghambat pembangunan, dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah. Faktor-faktor seperti kurangnya transparansi, rendahnya gaji pegawai publik, dan lemahnya penegakan hukum dapat menciptakan lingkungan yang mendukung korupsi.

      Pada tingkat global, organisasi internasional seperti Transparency International secara rutin merilis indeks persepsi korupsi untuk mengukur tingkat korupsi di berbagai negara. Negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi sering menghadapi tantangan besar dalam menciptakan stabilitas ekonomi dan sosial. Korupsi dapat merugikan pengelolaan dana publik, mengurangi ketersediaan sumber daya untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, serta menciptakan ketidaksetaraan yang lebih besar dalam masyarakat.

      Upaya untuk memerangi korupsi melibatkan langkah-langkah seperti peningkatan transparansi, pemberantasan suap, penguatan sistem peradilan, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi. Keterlibatan aktif masyarakat dalam pemantauan pemerintah juga penting untuk menciptakan tekanan sosial yang dapat mengurangi praktik korupsi. Melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta, perlahan-lahan dapat diciptakan lingkungan yang lebih bersih dan akuntabel, di mana kepentingan publik ditempatkan di atas kepentingan pribadi.

Bagaimana Pemahaman Terhadap Fenomena Kejahatan Korupsi Menurut Sigmund Freud?

PicsArt//SariMulyani
PicsArt//SariMulyani

      Diskursus Sigmund Freud tentang psikoanalisis dapat memberikan pemahaman mendalam terhadap fenomena kejahatan korupsi. Menurut Freud, aspek-aspek psikologis, seperti dorongan-dorongan tidak sadar dan konflik batin, dapat memainkan peran penting dalam perilaku individu. Dalam konteks korupsi, keinginan untuk kekuasaan, kekayaan, dan pengaruh seringkali dapat mendorong individu untuk melibatkan diri dalam tindakan korupsi. Psikoanalisis Freud dapat membantu kita menggali lapisan-lapisan psikologis yang mendasari motif korupsi, yang sering kali melibatkan faktor-faktor seperti ketidakpuasan pribadi atau dorongan tidak terpenuhi (Poernomo, 1984).

      Terlebih lagi, fenomena kejahatan korupsi dapat dianalisis melalui prisma ketidaksetaraan sosial dan teori konflik Freudian. Korupsi sering kali muncul dalam konteks ketidaksetaraan ekonomi dan sosial, di mana kelompok tertentu atau individu merasa tidak puas dengan alokasi sumber daya yang tidak merata. Teori konflik Freudian menyoroti adanya pertentangan antara kelompok berkuasa dan kelompok yang kurang beruntung secara ekonomi, yang dapat menciptakan iklim yang mendukung praktik-praktik korupsi sebagai bentuk protes atau upaya memperoleh keadilan.

      Untuk mengatasi fenomena kompleks ini, pendekatan holistik yang mencakup baik dimensi psikologis maupun sosial menjadi krusial. Langkah-langkah preventif dan rehabilitatif dapat dirancang dengan mempertimbangkan aspek-aspek psikologis yang mendasari perilaku korupsi, sekaligus menanggapi akar masalah ketidaksetaraan dan konflik dalam masyarakat. Dengan mengintegrasikan pemahaman Freudian tentang psikologi individu dengan analisis struktural sosial, kita dapat merinci penyebab dan solusi yang lebih efektif terhadap fenomena kompleks dan merugikan ini (Alatas, 1980).

      Dalam pandangan Sigmund Freud, teori psikoanalisisnya menyoroti pengaruh dorongan-dorongan tidak sadar dan konflik batin terhadap perilaku individu. Freud mengidentifikasi adanya tiga struktur kepribadian, yaitu id, ego, dan superego, yang saling berinteraksi dan membentuk motivasi serta perilaku manusia. Dalam konteks korupsi, keinginan untuk kekuasaan menjadi salah satu dorongan kuat yang dapat mendorong individu untuk terlibat dalam tindakan korupsi. Id, sebagai bagian kepribadian yang berkaitan dengan keinginan dan naluri primitif, dapat merangsang keinginan individu untuk mencapai posisi berkuasa dan memperoleh keuntungan pribadi tanpa memperdulikan norma-norma sosial.

      Selain keinginan untuk kekuasaan, dorongan untuk memperoleh kekayaan dan pengaruh juga memainkan peran signifikan dalam konteks korupsi. Ego, sebagai struktur kepribadian yang berfungsi untuk mengakomodasi realitas dan menjembatani antara id dan superego, dapat memotivasi individu untuk mencari cara-cara yang dianggap rasional atau dapat diterima oleh masyarakat untuk mencapai tujuan material dan status. Dalam hal ini, konflik batin dapat timbul ketika individu merasa tergoda untuk melanggar norma sosial demi mencapai ambisi pribadi mereka, dan ego berjuang untuk menyeimbangkan ketegangan tersebut.

      Superego, sebagai penjaga norma-norma moral dan etika, seharusnya menjadi penyeimbang untuk mencegah perilaku yang tidak etis. Namun, ketika superego lemah atau terkendala, individu dapat mengabaikan norma-norma moral, membenarkan tindakan korupsi sebagai cara untuk mencapai tujuan mereka. Keseluruhan dinamika ini menciptakan landasan psikologis yang dapat memahami mengapa beberapa individu cenderung terlibat dalam perilaku koruptif, walaupun menyadari konsekuensi sosial dan hukumnya (Sutawijaya, 2020).

      Freud juga mengemukakan bahwa pengalaman masa lalu dan konflik batin dari tahap perkembangan individu dapat memengaruhi perilaku dewasa. Misalnya, pengalaman traumatis atau konflik selama masa kanak-kanak dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam struktur kepribadian, meningkatkan rentanitas terhadap perilaku koruptif di masa dewasa. Ketidakstabilan emosional dan kebutuhan untuk memenuhi kekurangan psikologis yang timbul dari pengalaman masa lalu dapat menjadi faktor pendorong individu untuk mencari pengakuan atau kompensasi melalui keterlibatan dalam kegiatan korupsi.

      Pentingnya konteks sosial dan lingkungan juga dapat dijelaskan melalui lensa Freudian. Individu cenderung membentuk identitas dan perilaku mereka sebagai respons terhadap tekanan dan tuntutan masyarakat di sekitarnya. Dalam lingkungan yang mempertontonkan toleransi terhadap perilaku koruptif atau bahkan memberikan ganjaran positif atasnya, individu dapat merespon dengan menginternalisasi norma-norma sosial tersebut. Dengan demikian, budaya dan struktur sosial yang memfasilitasi korupsi dapat menjadi faktor eksternal yang berinteraksi dengan faktor psikologis internal, menciptakan kondisi yang mendukung penyebaran perilaku koruptif dalam masyarakat.

      Melalui pemahaman ini, strategi pencegahan dan rehabilitasi korupsi dapat menggabungkan pendekatan psikologis dengan intervensi sosial. Program pendidikan dan kesejahteraan mental yang menyasar tahap-tahap perkembangan kritis dapat membantu mencegah pembentukan pola perilaku koruptif. Selain itu, perubahan norma sosial dan lingkungan yang mendukung integritas dan etika dapat memberikan tekanan positif yang membantu individu menyeimbangkan konflik batin mereka. Dengan demikian, pendekatan yang holistik dan terintegrasi menjadi kunci untuk mengatasi akar penyebab psikologis dan sosial dari fenomena kejahatan korupsi (Lopa, 2001).

      Pemahaman fenomena kejahatan korupsi melalui prisma ketidaksetaraan sosial dan teori konflik Freudian memberikan wawasan mendalam tentang dinamika yang mendasarinya. Ketidaksetaraan sosial, terutama dalam hal ekonomi, seringkali menjadi pemicu utama munculnya perilaku koruptif. Dalam konteks ketidaksetaraan, individu atau kelompok yang merasa terpinggirkan atau tidak memiliki akses yang setara terhadap sumber daya dapat merasa terdorong untuk mencari cara-cara tidak konvensional, seperti tindakan korupsi, untuk memperbaiki kondisi hidup mereka. Fenomena ini mencerminkan teori konflik Freudian di mana konflik antara kelompok berkuasa dan kelompok yang kurang beruntung dapat menghasilkan perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial.

      Teori konflik Freudian juga memandang ketidaksetaraan sosial sebagai sumber konflik batin individu. Dorongan untuk meraih kekuasaan dan kekayaan sebagai respons terhadap konflik batin dapat menjadi bentuk protes atau cara individu menyelaraskan keinginan pribadi dengan ketidaksetaraan yang mereka alami. Fenomena ini menciptakan lingkungan psikologis yang mendukung praktik korupsi sebagai mekanisme pencapaian tujuan pribadi. Melalui analisis ini, kita dapat memahami bahwa tindakan korupsi bukan hanya akibat keinginan individu untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh ketidaksetaraan sosial yang mendasar.

      Pentingnya memahami dan mengatasi ketidaksetaraan sosial sebagai akar penyebab korupsi dapat membimbing perancangan kebijakan dan intervensi yang lebih efektif. Langkah-langkah untuk meningkatkan distribusi kekayaan, memperbaiki akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, serta merumuskan kebijakan anti-diskriminasi dapat membantu mengurangi motivasi individu untuk terlibat dalam tindakan korupsi. Selain itu, pendekatan yang menggabungkan analisis psikologis Freudian dengan teori konflik sosial dapat memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami dan mengatasi kompleksitas fenomena kejahatan korupsi dalam masyarakat.

      Teori konflik Freudian memberikan pandangan yang mendalam terhadap dinamika sosial dan ekonomi yang dapat memicu praktik-praktik korupsi sebagai bentuk protes atau upaya memperoleh keadilan. Pertama-tama, konsep konflik batin antara kelompok berkuasa dan kelompok yang kurang beruntung memainkan peran sentral dalam pemahaman ini. Freud berpendapat bahwa ketidaksetaraan ekonomi dan sosial dapat menciptakan ketegangan internal pada individu yang merasa dirugikan oleh sistem yang tidak merata. Konflik batin ini kemudian dapat menjadi daya pendorong untuk melawan status quo, dan korupsi mungkin dianggap sebagai alat untuk mencapai keseimbangan atau keadilan yang dianggap hilang.

      Dalam konteks ini, konsep protes sebagai motivasi untuk terlibat dalam korupsi menarik perhatian. Individu atau kelompok yang merasa marginal atau diabaikan oleh struktur sosial dan ekonomi dapat melihat tindakan korupsi sebagai cara untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Dengan menyalahi norma-norma sosial yang ada, mereka mungkin percaya bahwa tindakan korupsi adalah langkah yang diperlukan untuk menegakkan keadilan atau mendapatkan bagian dari sumber daya yang seharusnya mereka miliki. Dalam konteks ini, praktik korupsi dapat dianggap sebagai bentuk protes atau resistensi terhadap ketidaksetaraan ekonomi yang mengakar dalam teori konflik Freudian.

      Namun, perlu diperhatikan bahwa paham ini tidak menggambarkan korupsi sebagai solusi yang efektif atau etis. Sebaliknya, konflik batin yang melibatkan ketidaksetaraan dapat menciptakan perasaan frustasi dan kemarahan, tetapi solusi untuk mengatasi masalah ini harus dicari melalui jalur yang sah dan etis. Mempahami keterlibatan individu dalam korupsi sebagai bentuk protes mendorong kita untuk merenungkan lebih dalam tentang akar penyebab ketidaksetaraan sosial dan mencari cara-cara yang lebih konstruktif dan adil untuk merespons ketidakpuasan masyarakat (Sutawijaya, 2020)

      Pendekatan holistik yang mencakup baik dimensi psikologis maupun sosial menjadi krusial dalam upaya mengatasi fenomena kompleks korupsi. Pertama-tama, aspek psikologis menekankan perlunya pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor psikologis yang mendorong individu terlibat dalam tindakan koruptif. Psikoanalisis Freudian, dengan menyoroti dorongan tidak sadar dan konflik batin, dapat membantu mengidentifikasi motivasi dan pola perilaku yang mendasari korupsi. Dengan memahami akar psikologis tersebut, intervensi dapat dirancang untuk membimbing individu menuju perubahan perilaku yang lebih positif.

      Sementara itu, dimensi sosial membutuhkan pendekatan yang mencakup struktur dan norma-norma dalam masyarakat yang dapat memengaruhi penyebaran korupsi. Analisis ini mencakup pemahaman tentang ketidaksetaraan ekonomi, kebijakan pemerintah, serta budaya organisasi yang dapat mendukung atau memadamkan tindakan koruptif. Melibatkan masyarakat dalam proses perubahan sosial juga menjadi kunci, karena tekanan sosial dapat memainkan peran penting dalam mengubah norma-norma yang mendukung korupsi. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi perlu mencakup kampanye penyuluhan, pelibatan aktif masyarakat, dan reformasi kebijakan yang mendukung transparansi dan akuntabilitas.

      Pentingnya pendekatan holistik juga menekankan kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta. Keterlibatan semua pihak ini diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang bersih dari korupsi. Selain itu, pendekatan holistik tidak hanya memerlukan respons terhadap kasus-kasus korupsi secara reaktif, tetapi juga upaya pencegahan yang proaktif. Pendidikan anti-korupsi, peningkatan transparansi, dan penguatan sistem peradilan menjadi bagian integral dari upaya holistik ini. Dengan menggabungkan dimensi psikologis dan sosial, kita dapat mengembangkan strategi yang komprehensif untuk meredakan dan mengatasi fenomena korupsi, memastikan perubahan yang berkelanjutan dan positif dalam masyarakat (Alatas, 1980).

      Pendekatan holistik yang mencakup dimensi psikologis dan sosial muncul sebagai strategi esensial dalam menanggulangi fenomena kompleks korupsi. Pertama-tama, aspek psikologis menuntut pemahaman mendalam terhadap motivasi dan dinamika individu yang terlibat dalam tindakan koruptif. Melalui psikoanalisis Freudian, kita dapat mengidentifikasi dorongan-dorongan tidak sadar serta konflik batin yang mungkin menjadi pendorong utama perilaku korupsi. Dengan memahami kompleksitas psikologis ini, program rehabilitasi dan pencegahan dapat dirancang untuk memberikan dukungan psikologis yang diperlukan bagi individu agar dapat mengatasi faktor-faktor pendorong korupsi dalam diri mereka.

      Di samping itu, dimensi sosial merupakan bagian integral dari pendekatan holistik ini. Analisis mendalam terhadap struktur sosial, norma-norma budaya, dan faktor-faktor ekonomi yang mendukung atau menghambat korupsi menjadi krusial. Pemahaman konteks sosial ini dapat membimbing perancangan kebijakan dan intervensi yang lebih efektif. Dalam mengatasi ketidaksetaraan ekonomi, misalnya, program redistribusi kekayaan dan kebijakan inklusif dapat membentuk dasar untuk menciptakan lingkungan sosial yang kurang mendukung praktik koruptif. Selain itu, menggalang dukungan masyarakat dan memperkuat lembaga-lembaga transparansi dapat berkontribusi signifikan dalam menciptakan iklim yang tidak bersahabat bagi korupsi.

      Pentingnya pendekatan holistik tercermin dalam kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta. Keberhasilan memerangi korupsi memerlukan keterlibatan semua pihak terkait untuk menciptakan perubahan berkelanjutan. Pendidikan anti-korupsi menjadi alat penting dalam membentuk kesadaran masyarakat, sedangkan reformasi kebijakan dan perbaikan sistem hukum dapat membantu memastikan adanya hukuman yang efektif terhadap pelaku korupsi. Dengan menggabungkan upaya di kedua dimensi ini, pendekatan holistik bukan hanya merespon gejala korupsi, tetapi juga bertujuan untuk mengubah struktur masyarakat dan norma-norma yang mendukung integritas, menciptakan fondasi yang lebih kuat untuk pencegahan dan penanggulangan fenomena ini (Poernomo, 1984).


Mengapa Korupsi Bisa Terjadi?

PicsArt//SariMulyani
PicsArt//SariMulyani

      Mengintegrasikan pemahaman Freudian tentang psikologi individu dengan analisis struktural sosial membuka pintu untuk merinci penyebab dan solusi yang lebih efektif terhadap fenomena korupsi. Pertama-tama, psikoanalisis Freudian memberikan wawasan mendalam ke dalam aspek-aspek psikologis yang mungkin mendorong individu terlibat dalam tindakan koruptif. Dorongan tidak sadar, konflik batin, dan dinamika kepribadian menjadi bagian integral dari pemahaman ini. Dengan merinci penyebab korupsi dari perspektif psikologis, kita dapat mengidentifikasi pola perilaku yang mendasarinya dan merancang strategi intervensi yang lebih tepat sasaran, seperti program rehabilitasi psikologis atau dukungan kesejahteraan mental.

      Analisis struktural sosial, di sisi lain, memungkinkan kita memahami bagaimana faktor-faktor lingkungan, kebijakan, dan ketidaksetaraan masyarakat dapat menjadi pendorong korupsi. Melihat korupsi sebagai produk dari struktur sosial yang tidak seimbang, kita dapat mengidentifikasi area-area di mana reformasi dan perubahan diperlukan. Ini bisa mencakup perbaikan dalam distribusi kekayaan, peningkatan transparansi kebijakan, dan penguatan lembaga penegak hukum. Dengan menganalisis akar penyebab dari sudut pandang struktural sosial, solusi yang dirancang dapat mengatasi masalah fundamental dan menciptakan perubahan yang lebih berkelanjutan.

      Integrasi kedua perspektif ini memungkinkan pengembangan strategi holistik yang melibatkan baik individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Solusi yang efektif untuk mengatasi korupsi tidak hanya mencakup perubahan perilaku individu, tetapi juga transformasi struktural dalam sistem sosial. Program pendidikan anti-korupsi yang mengintegrasikan aspek psikologis dan sosial dapat membentuk kesadaran masyarakat dan mendorong perubahan norma-norma yang lebih integritas. Dengan demikian, pendekatan ini menciptakan landasan yang kokoh untuk pencegahan dan penanggulangan korupsi yang tidak hanya menargetkan gejala, tetapi juga akar penyebab yang kompleks dan terkait erat dengan dimensi psikologis dan sosial masyarakat.

      Mengintegrasikan pemahaman Freudian tentang psikologi individu dengan analisis struktural sosial membuka pintu untuk merinci penyebab dan solusi yang lebih efektif terhadap fenomena korupsi. Pertama-tama, psikoanalisis Freudian memberikan wawasan mendalam ke dalam aspek-aspek psikologis yang mungkin mendorong individu terlibat dalam tindakan koruptif. Dorongan tidak sadar, konflik batin, dan dinamika kepribadian menjadi bagian integral dari pemahaman ini. Dengan merinci penyebab korupsi dari perspektif psikologis, kita dapat mengidentifikasi pola perilaku yang mendasarinya dan merancang strategi intervensi yang lebih tepat sasaran, seperti program rehabilitasi psikologis atau dukungan kesejahteraan mental (Alatas, 1980).

      Analisis struktural sosial, di sisi lain, memungkinkan kita memahami bagaimana faktor-faktor lingkungan, kebijakan, dan ketidaksetaraan masyarakat dapat menjadi pendorong korupsi. Melihat korupsi sebagai produk dari struktur sosial yang tidak seimbang, kita dapat mengidentifikasi area-area di mana reformasi dan perubahan diperlukan. Ini bisa mencakup perbaikan dalam distribusi kekayaan, peningkatan transparansi kebijakan, dan penguatan lembaga penegak hukum. Dengan menganalisis akar penyebab dari sudut pandang struktural sosial, solusi yang dirancang dapat mengatasi masalah fundamental dan menciptakan perubahan yang lebih berkelanjutan.

      Integrasi kedua perspektif ini memungkinkan pengembangan strategi holistik yang melibatkan baik individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Solusi yang efektif untuk mengatasi korupsi tidak hanya mencakup perubahan perilaku individu, tetapi juga transformasi struktural dalam sistem sosial. Program pendidikan anti-korupsi yang mengintegrasikan aspek psikologis dan sosial dapat membentuk kesadaran masyarakat dan mendorong perubahan norma-norma yang lebih integritas. Dengan demikian, pendekatan ini menciptakan landasan yang kokoh untuk pencegahan dan penanggulangan korupsi yang tidak hanya menargetkan gejala, tetapi juga akar penyebab yang kompleks dan terkait erat dengan dimensi psikologis dan sosial masyarakat.

      Pengintegrasian pemahaman Freudian tentang psikologi individu dengan analisis struktural sosial menciptakan kesempatan untuk merancang intervensi yang lebih holistik dan berkelanjutan. Dalam melibatkan dimensi psikologis, perhatian terhadap aspek perkembangan dan traumatisasi masa lalu dapat membimbing upaya preventif. Program pendidikan dan kesejahteraan mental yang memperhatikan keseimbangan psikologis dapat membantu mencegah pembentukan pola perilaku koruptif sejak dini. Dengan memahami dinamika psikologis individu, kita dapat membangun pendekatan pencegahan yang lebih personal dan responsif terhadap kebutuhan khusus masyarakat.

      Dari segi analisis struktural sosial, fokus pada faktor-faktor seperti ketidaksetaraan dan norma sosial dapat memberikan landasan bagi perubahan struktural yang lebih luas. Reformasi kebijakan yang bertujuan meningkatkan distribusi kekayaan dan mendorong transparansi dalam tata kelola dapat menciptakan lingkungan sosial yang kurang mendukung praktik koruptif. Lebih dari itu, melibatkan masyarakat dalam proses perubahan sosial dapat memperkuat kesadaran kolektif tentang dampak korupsi serta memberikan tekanan untuk perubahan positif dalam struktur masyarakat (Jalaludin, 2004)

      Integrasi pemahaman Freudian dan analisis struktural sosial juga membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut yang menyelidiki interaksi kompleks antara faktor-faktor psikologis dan sosial. Dengan memahami bagaimana ketidaksetaraan dapat merangsang konflik batin atau bagaimana pengalaman masa lalu dapat membentuk respons terhadap struktur sosial, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang dinamika korupsi. Penelitian ini dapat membimbing perkembangan kebijakan dan praktik intervensi yang lebih tepat dan berfokus pada kondisi kontekstual yang spesifik.

      Dengan demikian, pengintegrasian dua perspektif ini menghasilkan pendekatan yang lebih komprehensif dan dapat diadaptasi untuk memerangi korupsi. Melalui pendekatan holistik ini, kita dapat mengidentifikasi dan mengatasi masalah pada tingkat pribadi dan struktural, menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan berintegritas untuk masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, penting untuk mengakui bahwa pendekatan holistik ini memerlukan komitmen jangka panjang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga masyarakat, dan sektor swasta yang sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, S. H. (1980). Sosiologi Korupsi (3rd ed.). LP3ES
Irfan, H. M. (2011). Korupsi Dalam Hukum Agama Islam, Jakarta: Amzah.
Jalaludin, H. (2004). Psikologi Agama: Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi (Revisi ed.). PT. Raja Grafindo
Lopa, B. (2001). Kejahatan Korupsi dan penegakkan hukum . Buku Kompas.
Poernomo, B. (1984). Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
Sutawijaya, D. D. (2020). Pelaksanaan Pembinaan Kepribadian Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Iia Cibinong. Gema Keadilan, 7(2), 84-96.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun