Mohon tunggu...
Irul
Irul Mohon Tunggu... Guru - xxxxx

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Selamat Hari Buruh, Marni

1 Mei 2014   17:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:58 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua anak gadis kakak beradik itu tinggal di sebuah kamar kontrakan sempit tanpa jendela di pinggiran kota Bandung. Kamar berukuran enam meteran persegi itu dijejali dengan lemari plastik, kasur yang digelar, cermin persegi tergantung di dinding, kipas angin dan sebuah meja kecil multi fungsi. Sebuah seterika, piring, gelas, serta beberapa botol aqua kosong dan setengah isi tampak berserakan di lantai. Kamar yang terlalu sempit untuk mereka berdua. Tapi disitulah Asih dan Marni hidup – dalam percampuran antara mimpi dan kenyataan.

Asih berusia 18 tahun, berperawakan sedang, berasal dari sebuah desa miskin di sudut kota Indramayu. Ia merantau ke Bandung, mengadu nasib menjadi buruh pabrik garmen. “ Untuk meringankan beban orang tua”, katanya.

Marni, adiknya,berwajah manis, usia 16 tahunan, berperawakan kecil. Ia ikut Asih, bekerja di pabrik garmen yang sama. “Daripada jadi TKW mbak, jauh. Kalau disini kan enak dekat, kapan aja bisa pulang”, ujarnya.

Asih dan Marni sadar betul, bahwa menjadi buruh pabrik garmen bukanlah cita-citanya dari kecil. Bukan pula sebuah pilihan hidup yang paling baik. Tapi mereka menganggap, bahwa ini adalah pilihan yang paling mungkin. Pilihan hidup yang diambil berdasarkan ketersudutannya karena kondisi fait a comply oleh keadaan ekonomi keluarga.

Banyak remaja yang seperti Asih dan Marni. Anak-anak muda yang telah menghabiskan masa remajanya untuk menjahit dan memotong pola. Jutaan jumlah mereka, yang tak memiliki banyak waktu dan kesulitan bergerak. Mereka biasanya lahir dari keluarga tak berpunya dan tidak bisa melanjutkan sekolah.

Tapi ada yang membuat Asih dan Marni bangga, yaitu mereka menjahit Giorgio Armani. Sebuah brand pakaian yang dikembangkan oleh perancang busana dari Italia. Fantasi kelas menengah ras Kaukasia tentang tubuh perempuan yang sempurna. Primadona Kapitalisme yang jatuh dalam mimpi-mimpi para wanita dimuka bumi, yang juga jatuh didalam kamar kontrakan sempit di pinggiran kota Bandung itu. Asih dan Marni terpukau dengan hasil tangannya sendiri.

Kekuatan uang para Kapitalis telah merambah kemana-mana, termasuk menyentuh nasib Asih dan Marni. Globalisasi telah melumpuhkan apa yang lokal. Manusiapun kemudian menjadi sekedar unit produksi. Hidup terperangkap kedalam takhayul komoditas. Lalu, orang-orangpun mulai sadar, prihatin dengan penderitaan kaum buruh. Mereka percaya, bahwa teori-teori dapat menjelaskan penderitaan itu dan kemudian mengubahnya melalui aturan-aturan.

Tapi agaknya selalu ada yang terlupakan dari setiap teori dan aturan. Sebuah wacana tak akan mampu melihat mata Asih yang jernih dan tekun. Sebuah Undang-Undang tak akan menyentuh tubuh Marni yang ringkih, yang dengan susah payah membentuk sehelai gaun dari kain perca.

Selalu ada momen yang tercecer, tak tercatat dan terabaikan. Tak mengapa. Biarlah Asih tertinggal dan tak tercatat. Biarlah dari dalam kamar kontrakan sempit itu lahir Diego Armani, icon yang mampu menembus gilang gemilang Hollywood.

Bekerjalah, Marni. Dari tangan mungil anak dusun sekalipun, tiap karya adalah sebuah pengharapan. Dan pada hari ini aku ucapkan yang selalu terlupa terucapkan: Selamat Hari Buruh, Marni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun