Mohon tunggu...
Nano Suratno
Nano Suratno Mohon Tunggu... -

hanya ingin belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apakah Rakyat Indonesia Mendukung Politisi (dan Parpol) Korup?

5 Februari 2014   07:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:09 1666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah pertanyaan yang jawabannya seharusnya sangat jelas dan sederhana; Tentu Tidak!. Tapi apakah jawabannya akan tetap jelas dan sederhana bila kita melihat fakta di lapangan?

Saat Pemilu 9 April tinggal menghitung hari, berbagai lembaga survey berlomba-lomba menggelar survey tentang elektabilitas penerimaan masyarakat terhadap Capres ataupun Partai Politik. Bermacam nama tokoh ‘diadu’ ke arena survey. Begitu juga dengan Partai, lewat media, lembaga survey selalu menyuguhkan survey terbaru tentang ‘Siapa Partai yang paling unggul atau partai mana yang paling merosot elaktibilitasnya bila Pemilu diadakan hari ini’. Tentu survey-survey tersebut memiliki nilai manfaat bagi masyarakat, namun tak jarang beberapa pihak yang ‘kalah’ dalam survey menjadi tidak nyaman dan menolak hasilnya. Contoh terhangat adalah Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dituntut partai Nasdem untuk menyatakan permohonan maafnya karena dinilai rekam jejak yang tidak akurat dan tidak sesuai kenyataan, sehingga tidak 'berhak' menyampaikan hasil survey yang menyatakan empat partai politik peserta Pemilu 2014 terancam tak lolos ambang batas Parlemen sebesar 3,5 persen. Keempat partai tersebut adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Survey tetaplah sebuah survey, yang merupakan representasi kecil dari seluruh populasi, dimana persentase nilai kebenarannya memang ditentukan setelah momen pemilihan umum selesai.

Kembali ada pertanyaan menarik. Bila survey belum bisa dipastikan kebenarannya, kenapa tidak melakukan kebalikannya. Survey memprediksi masa depan, kenapa kita tidak melihat masa lalu yang nilai kebenarannya lebih valid? Dengan cara meriset dan mengolah data yang telah ada untuk melihat rekam jejak dan kinerja suatu lembaga. Bagaimana rekam jejak Politisi dari seluruh Partai Politik, misalnya. Tentu ini bisa menjadi referensi berharga bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya di pemilu nanti.

Sebuah tulisan oleh Rahmat Mulyana (seorang akademisi dan professional di bidang keuangan); Elektabilitas Partai Dan Politisi Korup : Korelasi Dan Interpretasinya menyajikan data dan analis yang cukup tajam tentang politisi dari seluruh Partai Politik yang telah dipidana korupsi (perkaranya sudah diputus oleh hakim tipikor) baik di pusat maupun di daerah. Berawal dari twitwar yang membeberkan data korupsi politisi, penulis berusaha meredam perdebatan konyol para pendukung Partai melalui analisis objektif dari kacamata akademis.

Analisis dimulai dengan membagi jumlah politisi korup dari partai tertentu dengan perolehan suara pada Pemilu 2009. Ini diperlukan untuk menghilangkan bias perbedaan jumlah populasi suara per partai. Dari Pembagian tadi akan didapat semacam "rasio korupsi" atau "indeks korupsi". Hasilnya cukup mengejutkan.

Disini terlihat Partai ‘wajah lama” masuk dalam empat besar indeks korupsi. Sementara satu adiknya mengungguli abang-abangnya, penulis menggambarkannya sebagai "adik yang bisa belajar dengan cepat dari kakak-kakaknya".

Tidak sampai disitu, Rahmat Mulyana melakukan analisa korelasi terhadap data tersebut dan kembali menghasilkan hal yang mengejutkan: suara rakyat yang makin besar terhadap suatu parpol, 76% nya akan berhubungan dengan makin banyaknya koruptor di partai itu. Apakah ini benar? Apakah Rakyat Indonesia Mendukung Politisi (dan Parpol) Korup?

13915594961400243881
13915594961400243881

Sejauh ini pencitraan jadi resep manjur terbaik untuk menggambarkan betapa indahnya sebuah Parpol, dengan dukungan media (atau malah kepemilikan media), rakyat selalu ditunjukkan dengan ‘kepedulian’ parpol terhadap rakyat. Dalam ketidaktahuan, rakyatpun akan kembali mendukungnya. Tidak ada sarana edukasi yang bisa dengan jujur membeberkan hitam putih sebuah parpol. Karenanya, masih menurut Rahmat Mulyana, pertanyaan “Apakah Rakyat Indonesia Mendukung Politisi (dan Parpol) Korup?“ baru bisa dijawab setelah seluruh rakyat diberitahu/diedukasi terlebih dahulu profil korupsi setiap parpol. Jika kemudian rakyat tetap memilih parpol yang korup, maka sesungguhnya korupsi politisi memang didukung oleh rakyat.

Pertanyaan terakhir; siapakah yang mau memberitahu/mengedukasi rakyat tentang profil korupsi setiap parpol ini? Mungkin jawabannya akan kabur dan menjadi tidak sederhana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun