Mohon tunggu...
Hazmi SRONDOL
Hazmi SRONDOL Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis/Jurnalis

Jika kau bukan anak Raja, bukan anak Ulama. Menulislah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Suku Dayak dalam Penemuan Tambang Freeport

4 April 2015   11:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:33 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14281223021651233699

Berawal dari catatan harian Jan Cartensz tahun 1623 yang menyatakan bahwa ia melihat sebuah puncak gunung yang tertutupi salju di sebuah kepulauan yang disebut orang Eropa “Ihlos dos Papuas”—dalam pelayarannya di selatan pulau tersebut. Sebuah catatan yang menjadi olok-olok dan bahan tertawaan masyarakat Eropa saat itu yang menganggap bahwa gletser di garis katulistiwa adalah sebuah kemustahilan.

Sebuah kemustahilan yang ternyata, dari sisi lain—para petualang dan pendaki gunung menjadi sangat terobsesi menjadi saksi sekaligus orang yang pertama mencapai puncak salju tersebut. Berbagai kegiatan ekspedisi mulai dilakukan untuk pembuktian tersebut.

Walaupun dalam masa kolonial Belanda, pihak kerajaan sendiri sempat tidak tertarik dan enggan mengeluarkan biaya untuk pengembangan daerah tersebut karena  luasnya yang terlalu besar, hampir tiga kali lipat pulau Jawa dan tidak dianggap menunjukan prospek ekonomis yang menguntungkan bagi Kerajaan.

Bahkan penduduk lokal yang dianggap masih suka melakukan kekerasan, diperkirakan akan menjadi beban biaya bagi kerajaan saja. Ditambah catatan banyaknya musibah dan kesulitan dalam ekspedisi menuju puncak salju tersebut yang menyebabkan Belanda lebih baik membiarkan daerah tersebut dalam pengurusan Kesultanan Tidore.

Namun, semenjak Jerman mengklaim kepemilikan sebelah barat kepulauan Papua yang disebut “Kaiser Wilhelsmland” pada tahun 1883 sebagai bagian dari kegiatan pencarian daerah koloni baru Jerman membuat Belanda gerah dan memicunya melakukan kegiatan penelitian dan pemetaan di kepulauan tersebut.

Dan benar, mulai tahun 1904—Pemerintah kolonial Belanda mulai mengirimkan pihak militer yang dipimpin kapten angkatan daratnya yang mernama Meyes dan De Rochemont untuk survey awal dan berhasil menemukan sungai yang merupakan lelehan pegunungan bersalju di daerah Asmat yang dinamakan Sungai Noord (utara).

Misi dilanjutkan dengan mengirim Dr. H. A. Lorentz pada tahun 1907 untuk menyusuri hulu Sungai Noord untuk mendaki pegunungan salju. Sayang sekali, ekpedisi ini gagal.

Setelah kegagalan tersebut, Pihak kolonial pada tahun 1907 baru menggelontorkan dana 5,5 juta Gulden untuk pembuatan peta dengan skala 1:1 juta yang selesai pada tahun 1915. Tujuh tahun dari awal ekspedisi pemetaannya. Itupun telah merenggut 79 orang meninggal dari 800 orang tim yang dikirim dalam ekspedisi.

Untuk membayar kegagalannya, Lorentz kembali melakukan ekpedisi susulan tahun 1909. Cerdiknya, untuk mensiasati hambatan alam berupa hujan yang turun hampir 300 hari setahunnya serta alam tropis yang liar, Lorentz membawa tim khusus untuk ekpedisi ini.

Tim khusus ini ternyata adalah 82 orang dari Suku Dayak Kalimantan yang terkenal dengan kemampuan navigasi alamnya, serta beberapa orang Suku Kamoro dari pesisir Papua untuk ekpedisi susur sungai sampai kaki bukit terdekat.

Terbukti, dengan dibantu oleh orang-orang Dayak dan Kamoro ini lah, Lorentz berhasil menyusuri Sungai Noord dan membelah hutan untuk mencapai puncak yang dinamakannya Wilhelmina. Salah satu puncak tertinggi di Irian Jaya  dengan ketinggian 4730 meter. Atas keberhasilan tim yang dipimpin oleh Lorentz inilah, akhirnya Sungai Noord digubah namanya menjadi Sungai Lorentz.

Sedangkan puncak Wilhelmina, pada era Soekarno, digubah namanya menjadi puncak Trikora.

Kehebatan navigasi alam dan hutan suku Dayak yang misterius dan sampai kini belum ada rujukan akademisnya, ternyata tetap menjadi pilar dalam ekpedisi-ekspedisi selanjutnya.

Hal itu terbukti lagi saat ekpedisi yang dilakukan oleh Jean Jaquest Dozy—seorang ahli geologi muda Belanda sekaligus fotographer gelogi pertama dunia bersama manager operasinya bernama Dr. Anton H. Colijn mendapat tugas melakukan survey oleh BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij), sebuah anak perusahaan Royal Dutch/Sheel pada than 1936.

Pada awalnya, survey ini bertujuan untuk mencari lokasi sumber minyak baru dari hasil konsesi 100.000 kilometer persegi yang didapatkan oleh konsorsium NNGPM (Nederlands Nieuw Guinnea Petroleum Maatschappij) dari pemerintah kolonial Belanda. Dimana BPM sendiri mempunyai porsi saham 40% dari konsorsium tersebut.

Kali ini, untuk menghemat dan mengefisienkan ekpedisi, tim dibuat sangat ramping. Selain Colijn dan Dozy, tim hanya membawa 8 orang Dayak dan seorang pilot penerbang angkatan laut bernama Frits J. Wissel untuk bagian pengiriman barang. Ya, era Dozy agak lebih baik dari era ekspedisi sebelumnya. Saat tahun 1936 tersebut sudah tersedia pesawat terbang jenis Sikorsky.

Dalam catatan Dozy yang tersimpan di perpustakaan Leiden, Belanda, ia menulis testimoni mengenai orang-orang Dayak ini. Kutipannya adalah sebagai berikut:

“Hidup bersama orang Dayak ternyata sangat menyenangkan, mereka adalah orang-orang baik serta merupakan kawan yang menyenangkan dan yang paling penting, mereka sangat ahli tentang kehidupan di hutan.  Orang Eropa yang paling ahli belukar pun, tidak dapat menandingi (penciuman) hidung mereka.”

Sedangkan sosok orang Dayak yang ikut dalam ekpedisi Dozy tersebut, dapat kita lihat dalam dokumen milik Troppen Museum di Amterdam, Belanda.

Sumber foto: http://collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?ccid=36758

[caption id="attachment_407539" align="aligncenter" width="600" caption="Delapan orang Dayak dan J.J Dozy "][/caption]

Ya, kekaguman ini tidak berlebihan. Dalam catatan lain, orang Dayak-lah yang membuat teknik memanjat tebing dari pohon dan membuat tangga kasar. Serta hanya dengan menggunakan indera dan intuisinya—jalan perintis menuju puncak salju terbentuk.

Bahkan ketika muncul masalah menjatuhkan barang bekal ekspedisi lewat pesawat, usai  ujicoba beberapa barang hancur atau menggelinding jauh, orang Dayak pula yang mengingatkan Dozy agar memakai kain selebar 4x4 meter yang diikat tiap ujungnya untuk dijadikan parasut. Ide yang sangat menghemat biaya.

Bayangkan, saat itu pembelian parasut asli harganya 500 gulden dan bisa menjadi hanya sekitar 10 gulden. Itu pun mendapat manfaat lebih, yaitu kain tersebut bisa menjadi terpal penutup dan pelindung barang ketika sudah jatuh di darat.

Bersama orang-orang Dayak inilah yang akhirnya ditemukan jalur pendakian puncak salju yang lebih efisien, sekaligus terdapat bukit yang berbau tembaga. Sebuah bukit yang berwarna hijau kebiru-biruan yang akhirnya oleh Dozy disebut sebagai “Gunung Bijih” atau dalam bahasa Belanda disebut Erstberg.

=====

follow: @hazmiSRONDOL

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun