“Rikaaaaaa!” teriak Budhe Ani senang saat melihat Rika berdiri di depan pintu rumahnya
Rika tertawa lebar melihat sambutan Budhe nya yang satu ini. Kakak ibunya yang ceriwis tapi sangat sayang dan perhatian dengannnya. Budhenya ini pula yang sekarang sering memberikan kiriman uang jajan padanya setelah bapaknya meninggal. Sangat di mengerti jika budhenya begitu dekatnya dengan Rika ini, lha wong dulu Budhe Rika sempat 10 tahun belum hamil-hamil sejak menikah. Dan semenjak Rika di titipkan di Brebes ini, ajaib!
Tak sampai 3 bulan langsung hamil. Konon katanya, karena di titipkan itu, muncul perasaan ke-ibu-an sejati dari Budhenya yang sewaktu muda rada-rada tomboy yang kemungkinan menjadi penyebab berhasilnya telur rahimnya di buahi.
Hmm, memang rada aneh pelajaran Biologi ini. Mosok telur di buahi. Bisa marah guru bahasa Indonesia. Telur dari binatang dan buah dari tumbuhan. Mestinya telur ya di erami. Tapi sudahlah, daripada nanti lewat guru Matematika. Makin binggung dia, 1 + 1 = 3. Kecuali anaknya kembar.
“Waaaah, tumben bawa oleh-oleh. Kripik tempe mas Arum di gang turunan seberang rumah sakit sana ya? Cocok banget, Budhe lagi pengen banget” kata Budhe lagi saat membantu mengambilkan bawaan oleh-oleh Rika dalam tas kresek putih keruh itu.
Rika pun masuk ke dalam rumah Budhenya yang asri dan luas halamannya. Walau rumah model lama, tapi Rika betah sekali disini. Direbahkannya di sofa ruang tamu itu. Rika duduk sedikit mendelosor dengan pososo pantan mendekati ujung bibir sofa. Sepertinya posisi nyaman Rika. Dengan posisi itu, di tengadahkannya kepalanya menatap langit-langit.
Terbayang di matanya pacarnya yang mengantarnya ke travel angkutan luar kota itu. Sebenarnya liburan sekolah ini Rika ingin di rumah saja. Tapi ibunya meminta ia mesti ke Brebes kerumah Budhenya. Rika pernah bilang soal ke Brebes ini kepacaranya. Tapi sayang, Andre sungguh menyebalkan saat itu. Bukannya membelanya, Andre malah mendukung perintah ibunya.
Kekesalan ini sempat membuat Rika ngambek, diam tak mau bicara. Telp dan SMS pun tak dibalasnya. Rika kesal, kesal se kesal kesalnya. Hingga sampai Andre mengantarnya ke Agen travel dan masuk ke dalam mobil L300 milik agen Travel itu, Andre baru membisikkan sesuatu dari luar jendela.
Rika tertawa geli.
“Gimana? Setuju nggak?” tanya Andre sambilmengangakat angkat alisnya lucu.
Rika hanya tertawa saja. Tawa renyah yang akhirnya dijawab anggukan Rika dan pelototan indah dari bola matanya.
................
“Hayooo! Mbak kok senyam senyum sendiri?” tanya Citra.
Rika makin tertawa lebar setelah melihat kedatangan anak semata wayang Budhenya yang terpaut 3 tahun lebih muda darinya. Sebenarnya sih kalau menurut aturan orang Jawa, walau Rika lebih tua secara umur tapi dari urutan darah mestinya Rika yang memanggil Citra ‘mbak’. Berhubung adanya sejarah penitipan Rika jaman dulu membuat aturan itu sedikit dilanggar keluarga besar mereka.
“Nggak, lagi seneng aja ketemu kau lagi” kata Rika sedikit berbohong.
Kebhongan kecil yang bagi Citra malah menyenangkan. Maklum, Citra sudah SMP sekarang dan senang ada teman curhat nya datang. Mereka tampak berisik sekali tertawa-tawa dan bercanda-canda. Budhe Ani membiarkan saja. Dia malah senang rumahnya jadi ramai kali ini. Setidaknya satu minggu ini. Cuman setelah itu, tawa dan canda mereka berdua teraksa di interupsi. Budhenya ingat, Rika belum mandi semenjak kedatangannya kali ini.
“Mbak, mandi bareng yuk” kata Cintra
“Halah, malas. Barang kita sama” kata Rika sambil tertawa.
Tawa yang di sambut omelan Budhe ke Citra. Beda dulu dan sekarang. Mereka sudah sama-sama gede. Tidak boleh lagi mandi sekamar mandi bersama. Citra pun tertawa. Mereka jadi ingat sewaktu masih SD dulu.
Seusai mandi, Rika pun diajak makan malam bersama di meja makan. Memang enak makan sayur lodeh, ayam goreng dan tempe kripik asli kota kelahiran Rika.
“Citra!” kata budhe sambil makan.
“Iya Mah”
“Tuh lihat mbak Rika, pinter hemat uang jajan. Jatah jajannya kan sama kayak kamu, tapi masih bisa nyisihin buat beliin mamah oleh-oleh. Lha kamu, baru tengah bulan langsung klojotan minta tambah jajan” omel Budhe lagi.
“Iyaaaa!” jawab Citra sambil tertawa-tawa.
Rika hanya tertawa kecil melihat polah saudaranya yang berparas manis itu. Berkulit sawo muda bersih yang bersuara merdu. Alis tebalnya mirip Rika dengan badan yang berbakat montok. Memang mereka berdua saudara yang klop. Walau berbeda rahim, sekilas melihat memang Rika dan Citra bagai kakak beradik sekandung.
Seusai makan kripik tempe, Rika kembali menahan senyum dan tawa. Pintar sekali Andre yang membelikan kripik untuk oleh-oleh Budhenya.
Ah, Andre lagi... Andre lagi. Rika juga heran, kecuali sedang be’ol, bawaanya ingat Andree terus. Iiih! Sebel! Katanya dalam hati.
.......
“Mbak, kita ke Plaza yuk nanti sore” ajak Citra ke esokan harinya.
“Ayuuk!, aku juga pengen jalan-jalan. Habis itu cari bakso yuk” tawar Rika
“Iya mbak!” kata Citra girang
Sore itu, mereka pun berjalan bersama keluar rumah dan mencegat angkot jurusan Jl. Sudirman kota itu. Tak butuh waktu lama untuk mencapai tempat itu dari rumah Budhe Ani. Plaza itu tampak ramai. Namanya juga sedang liburan. Mereka tidak membeli apa-apa, sepertinya cuci mata lebih memuaskan mereka sebagai obat kangen. Seperti rencana sebelumnya, merekapun segera berjalan mencari tempat makan bakso setelah puas berkeliling Plaza.
DUK!
“Hey!” kata Citra berteriak kaget saat melihat bahu Rika bersenggolan dengan seseorang berperut buncit.
“Eh maaf-maaf. Lho ini Rika kan?” tanya bapak berkepala botak itu mendadak sambil bibirnya melongo.
“Iya pak, itu mbak Rika. Memangnya pak Gondo lupa? Kan tahun kemarin sudah nanya di rumah” sewot Citra.
“Idih, kok yang marah malah Citra. Pak Gondo kan nggak sengaja tadi”
“Nggak sengaja apaan. Jalan segede gini kok kok sampai nabrak” omel Citra.
“Udah-udah... “ Rika mencoba menghentikan omelan Citra walaupun sebenarnya dia juga kurang simpatik dengan pak Gondo ini.
“Gitu dong, Eh tumben main ke Brebes lagi? Liburan yah?”
“Nggak, bolos” sewot Citra lagi
“Sudaaaaaaah” kata Rika mulai tidak nyaman.
“Tuh, Rika aja nggak papa. Kamu kok yang malah sewot” kata pak Gondo, sambil diam-diam matanya melirik-lirik.
“Eh ngomong-ngomong pada mau kemana neh?” tanya pak Gondo sambil tetap sekali-kali mata jahilnya melirik-lirik ke arah Rika.
“Mau makan bakso. Emang mau bayarin?” ketus Citra.
“Yaela, jangankan bakso, sapinya sekalian juga mau kok di bayarin” jawabnya sambil tersenyum aneh.
Rika dan Citrapun berpandangan. Lalu keduanya tersenyum.
“Ya sudah, sekalian anterin pulang nanti”
Rika cuman tertawa mendengar mulut sadis Citra. Tapi memang logis mereka memutuskan mau diantar dan ditraktir perut buncit berkepala botak itu. Disamping mobil dinasnya yang adem. Sepertinya Citra kumat isengnya. Iseng untuk morotin pria yang berkemeja kedodoran itu.
.......
“Masih saja tidak berubah pak Gondo itu” kata pakde Budi sambil geleng-geleng kepala.
Pak de Budi memang sangat terbuka dengan Rika yang sudah dianggap anakknya itu. Pegawai swasta yang cukup lama bertugas di Jakarta yang kini dipindah tugaskan karena mendapat promosi jabatan menjadi kepala bagian di kota telur asin ini.
“Sewaktu kamu SD saja sudah mulai kelihatan tanda-tanda usil matanya” tambah budhe Ani.
“Ya memang repot jadi anak secantik kamu nduk” imbuh pakdenya lagi.
Rika hanya diam saja sambil senyam-senyum tidak jelas. Sudah lama memang pak Gondo ini sering mencoba mendekatinya. Pernah juga mampir ke sekolahnya di kota itu. Untung saja waktu itu Andre sedang mengantarnya pulang. Kalau saja tidak, bisa-bisa jatuh pasaran Rika gara-gara di datangi om-om yang perutnya seperti wanita hamil 7 bulan itu. Tinggal di USG saja...
“Pakde...” kata Rika saat suasana obrolan soal pak Gondo yang mata keranjang itu mulai mereda.
“Iya...”
“Jumat Rika pulang yah... Sabtu ada acara di sekolahan” lanjut Rika.
“oalah, kok cepet amat Nduk. Kasian Citra” kata pakdenya
“Iya mbak, minggu aja”
“Nggak bisa, mbak nggak enak ama anak-anak OSIS” jelas Rika.
Jelas-jelas bohong.
........
“Pak, berhenti di sini saja pak” kata Rika pada sopir travel
“Loh, nggak diantar sampai ke rumah?” tanya balik sopir itu
“Nggak pak”
“Nggak ada diskon loh mbak”
“Iyaaa!” kata Rika sambil tertawa.
Rika pun segera turun dan berjalan menuju warung Bakso seberang masjid tempat Rika jadian dengan Andre beberpa bulan yang lalu. Warung itu tampak sepi, mungkin memang bukan jamnya ramai kali. Langkah Rika semakin ringan saat melihat mobil sedan berkelir silver itu sudah parkir tak jauh dari warung itu. Rika pura-pura mengendap-endap. Dilihatnya Andre sedang merokok dan minum es teh manis di meja tempat biasanya dia duduk.
“HEY!” kata Andre terkaget saat ada dua tangan lentik mememeluknya. Lehernya seperti mendapat kalungan syal lembut dan halus dari belakang.
“Kangen” bisik Rika manja.
“Iya, kangen sih kangen. Tapi sayangku bau solar. Hpppfff” kata Andre sambil menutup hidungnya.
Rika mencubitnya, cubitan sayang. Cuman itu senjatanya kalau terkena godaaan Andre. Mas pemilik bakso itu tampak menggeleng-gelengkan kepala. Ingin rasanya mas nya meminjamkan tang pada rika. Biar tambah marem mencubitnya.
“Mandi dulu dong!” kata Andre lagi.
“Mandi dimana? Warung ini nggak ada kamar mandinya” kata Rika
“Ya sudah... buruan ikut” ajak Andre.
Kali ini Andre langsung membayar es teh manisnya sebelum mengajak Rika kelaur warung. Selepas itu, barulah Andre membuka pintu samping kiri kendaraan itu untuk memberikan jalan masuk untuk Rika.
.....
Rika tampak terus memadang wajah Andre saat mengemudi. Cara Andre yang halus membawa mobil dan luwes memainkan setir saat berkelak-kelok di jalanan lereng gunung yang sepi dan dingin itu. Dimata Rika, Andre benar benar seperti pangeran berkuda yang sedang mengemudi kereta kencana. Kereta kencana pinjaman orangtuanya.
“Yuk turun” ajak Andre.
Rika hanya menggeleng saja.
“Kenapa?”
“Malu” jawab Rika.
“Tenaang, Vila ini lagi sepi kok. Kunci juga sudah aku bawa sejak tadi siang” kata Andre sambil menunjukan kunci bernomer 12 itu.
Rika dengan senyum malu-malu akhirnya mau turun dari mobil. Andre mengandeng tangannya dan menuntunnya menuju Vila yang berada di tebing gunung itu. Udara dingin terasa sampai Rika merasa sedikit menggigil karena tidak membawa jaket. Apalagi dia hanya memakai koas tipis. Andre dan Rika tak berlama-lama di luar. Langkah mereka dipercepat. Dingin dan rasa takut dikenal orang campur aduk menjadi alasannya.
CLEK!
Bunyi pintu yang sedang di kunci dari dalam oleh Andre. Rika tampak masih berdiri sambil matanya menyapu sekeliling kamar vila yang besar itu. Rumah yang designnya sangat nyaman, beratap tinggi dengan gordyn dua lapis berwarna kuning muda. Hampir sepadan dengan warna putih temboknya. Mebel dan kursi yang tidak murahan dengan model minimalis tapi pasti berharga maksimalis. Tempat tidurnya juga lebar dengan selimut yang tertata rapi.
“....Andre...” kata Rika lirih sambil menegokan kepalanya kebelakang saat Andre memeluknya dari belakang.
[Bersambung part 8]
#J50K, Km 11769
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H