Mohon tunggu...
Hazmi SRONDOL
Hazmi SRONDOL Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis/Jurnalis

Jika kau bukan anak Raja, bukan anak Ulama. Menulislah...

Selanjutnya

Tutup

Humor

Serial Married Part 10: Pembawa Sial?

12 Januari 2012   10:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:59 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13263626941305005896

“Bukannya melarang. Kamu ini harapan Papa buat melanjutkan usaha yang sudah kami rintis. Dunia bisnis itubanyak hal-hal yang tidak cukup dipelajari di buku dan di kampus. Teori-teori rumit itu selalu dibatasi kata ‘ceteris parisbus’, jika semua dianggap sama dan ideal. Sedangkan dunia ini tidak ada yang ideal” jelas Papa Andre

“Lalu apa hubungannya dengan Rika dan Andre Pa?” tanya Andre hati-hati.

Mama Andre yang ikut duduk di teras itu juga menunggu jawaban pertanyaan anaknnya. Memang mama Andre mengakui, suaminya yang pejabat di perusahaan minyak ini mempunyai visi-visi yang tajam mengenai bisnis. Tujuh dari usaha yang dibangun suaminya sejak pertama kali menikah, satu gagal, dua biasa-biasa dan empat lainnya sukses besar. Cuman selama ini, tidak pernah dibahasnya soal ‘katuranggan’ masuk dalam aspek bisnis.

“Kau lihat Mama kamu?” tanya balik Papa Andre

Andre melirik sosok yang telah melahirkannya. Wanita sepuh yang mempunyai wajah tampak selalu tersenyum itu tampak gelagapan dengan pertanyaan Suami kepada anaknya.

“Mamamu itu wanita pembawa keberuntungan. Aura rumah kita ini. Bisnis pertama papa yang gagal juga karena mama mu pernah ngomong, ada yang tidak nyaman waktu memulai usaha. Papa tidak perduli, menurut teori harusnya usaha pertama itu sukses. Hitung-hitungan matematisnya sudah tepat. Tapi gagal juga. Tahu kenapa? Itu karena mamamu punya intuisi, feeling ala perempuan yang tanpa sadar mempu membaca energi alam sekitar”

Andre mendengarkan dengan penuh hati-hati.

“Dan kau tahu kenapa mama mu punya itu semua? Karena mamamu punya katuranggan yang bagus. Benar kata Eyang Kakungmu soal mamamu. Itulah kenapa papa ini cinta mati sama mamamu. Visi papa dalam berbisnis cuman satu Ndre, membuat mamamu nyaman. Itu saja” kata Papa Andre yang dilanjut tegukan kopi pahit tanpa gula di meja.

Mama tampak melongo, tidak diduganya setelah dua puluh tahunan menikah baru kali ini di bongkarnya rahasia besar bisnisnya suaminya. Dipandanginya suaminya dengan tatapan penuh.. ehm... cinta.

Andre pura-pura membuang muka mamanya mengamit tangan suaminya dan menelusupkan jari-jari ke tangannya.

“Tapi pa, siapa tuh si Siska, Ratna,Hani, Tuti, dan lainnya yang sering mama lihat recordnya di HP papa?”.

“Oh itu, biasalah fans Papa. Orang sukses kan banyak pengemarnya”

Mama manyun.

“Cinta dan gairah kan dua hal yang berbeda ma” kata Papa datar.

Dan cubitan keras itu meluncur ke pinggang Papa. Papa hanya tertawa. Mamanya pun ikut tertawa. Andre hanya bisa membatin dalam hati. Mamanya luar biasa, sabar dan tidak cemburuan. Papanya dasyat, cerdas, tampan walau kadang kumat playboy-nya. Yah, adalah kemiripan nya dengan dirinya sendiri. Papa versi badan yang lebih tinggi.

......

Andre tak bisa tidur. Malam yang tidak tertalu terang namun tidak terlalu mendung. Pikiran dan perasaannya kalut. Cintanya menggelora. Namun buku tipis berjudul “Kembang Setaman” dari Papanya tergeletak di samping ranjangnya membuatnya gelisah. Sebenarnya Papa nya menyuruh membaca primbon tua itu, tapi Andre tidak mau. Terlalu berat. Papanya akhirnya mengalah, sebuah tingkasan kecil primbon yang terdapat beberapa ciri-ciri perempuan.

“Laki-laki itu harus bisa membaca. Bukan hanya tulisan.... tapi suasana sekitar”

“Laki-laki itu harus bisa melihat. Nyondro kahanan...”

Dua hal yang sebenarnya sangat berat untuk anak-anak seumuran Andre yang belum genap 18 tahun itu. Tapi semenjak sudah di khitan, Papanya seperti menganggapnya sahabat. Dianggap anak yang sudah gede. Bahkan sejak kelas tiga SMP sudah pernah di lepas untuk memilih satu mobil bekas dan menjualnya kembali. Seumur-umur, pertama kali itu dia mendapat komisi sebagai sales mobil, dari papa nya sendiri. Sangat besar untuk ukuran anak SMP.

“Kamu tidak akan meninggalkanku kan Ande?”

“Kamutidak akan meninggalkanku kan....”

“Kamu tidak akan meninggalkanku...”

“Kamu tidak akan...”

“Kamu tidak...”

“Kamu...”

Suara gema dalam hati nya memantul-mantul. Andre menutup mukanya dengan bantal.

.......

“JAdi itu nduk yang dibilang Papanya Andre?” Tanya Mamak dengan suara lirih.

“Iya Mak, baru tahu soal begitu menjadi masalah besar” jawab Rika sedih sambil mendongakan kepalanya. Salah satu caranya menahan air mata tidak segera menetes.

“Padahal mama Andre baik sekali. Dia memanggilku ‘nak’ mak...” ibuhnya dengan mata semakin berkaca-kaca.

Kudua perempuan berbeda umur itu saling terdiam. Kedua adik Rika juga hanya menguping dari jarak yang tidak begitu jauh dengan pura-pura membaca buku pelajaran sekolahnya. Si bontot sepertinya menjadi penasaran lalu mendekat ke Mamak. Mamak sambil duduk memeluk dan membelai rambutnya.

“Rika, mamak jadi ingat.... Bapakmu pernah di ingatkan soal ini. Tapi bapakmu membandel. Malah membatah dan menuduh nenek Iyem mengada-ada. Sekarang mamak baru paham maksud nenek Iyem”

“Nenek Iyem? Nenik iyem siapa mak?” Tanya Rika saat melihat Mamak nya yang sudah mulai sedikit muncul uban di rambutnya nya itu seperti menerawang. Menerawang masa lalu yang jauh.

“Tukang pijet kamu nduk sewaktu kecil...”

.......

Air membasahi tubuh Rika, air segayung itu mengalir lambat sedikit-dikit mengucur diri ubun-ubun, wajah, leher dan bagian yang lain yang berkelok-kelok itu. Ada pula yang menjulang tinggi. Kelokan yang kata Andre adalah ibarat ukiran seni Tuhan dari tangan-Nya sendiri, bukan cetakan masal kayak batu bata seperti wanita lainnya.

Rika mengusap paha dan kalinya sendiri hngga kebawah. Kuning langsat dan halus. Kulit yang kata Andre (lagi) adalah kulit bidadari yang kesasar di bumi. Lalu dipandanginya tubuhnya yang tak berhanduk itu di kaca kotak kamar mandi. Mendadak matanya berkaca-kaca.

“bidadari pembawa sial...” bisiknya sendiri.

........

Ujung tali plastik itu tampak sudah tergenggam di jemari lentik Rika. Dipandanginya palang kayu kecil yang berada di belakang rumah kecil itu. Rika berkerut dahi. Lalu di seretnya kursi kayu yang kusam namun belum lapuk itu. Rika mulai memanjatnya dengan perlahan.

Hup!

Digapai-gapainya palang kayu itu. Ternyata tidak sampai. Palang kayu setinggi plafon itu masih terlalu tinggi untuknya.

“Nunggu mas Andre aja mbak!” kata Si Bontot.

“Nggak usah. Kamu pinjam tangga aja sama tetangga dek” kata Rika.

“Nggak kuat bawa nya mbak” jawab adiknya tanda menolak permintaan kakaknya.

Rika menghela nafas. Memang Rika masih kurang tinggi, adiknya apalagi. Sedangkan meminjam tangga bambu, tak ada satupun dari mereka yang kuat mengangkatnya.

“Ya sudah, nunggu mas Andre buat pasang tali jemurannya. Sementara diangin-anginin aja dek” perintah Rika.

“Iya mbak, kapan mas Andre datang mbak?” adiknya setelah mengangguk setuju.

“E... jam 7. Eh bukan!”

“Kenapa mbak?” tanya adiknya keheranan.

“Mbak ada janji ketemu mas Andre di restoran dekat supermarket. Aduh, mbak Rika lupaaa!” katanya panik.

Rika segera bergegas masuk kamarnya dan berganti baju. Rika sempat binggung dan kagok mesti memakai baju apa kali ini. Apakah mesti resmi atau casual. Sedangkan pakaiannya tidak begitu banyak. Tapi demi mengejar waktu, akhirnya diambilnya yang paling rapi saja.

......

Andre tampak duduk sendirian di meja restoran sendirian sambil merokok. Tampak sisa-sisa makanan itu blum semuanya diangkat. Wajah Andre tampak keras. Sepertinya marah. Rika sedikit mematung di pintu masuk restoran sebelum mata Andre menangkap bayangan tubuhnya.

Andre langsung berdiri dan memberi tanda memanggil lewat tangannya. Rika mencoba tersenyum. Tapi Andre masih berwajah data-datar cenderung kesal. Rika mendekat, namun masih ragu-ragu. Namun setelah melihat Andre memundurkan satu kursi disebelahnya, tanda Rika sedang diberi tempat untuk duduk barulan ia berani lebih dekat.

“Aku terlambat ya?” tanya Rika basa-basi

“Menurutmu?” jawab Andre berbalik

“Iya” jawab Rika sambil menunduk

“Ya sudah kalau tahu”

“Kok Andre ketus begitu sama Rika?” tanyanya dengan nada sedih.

“Pembelinya batal. Kan sudah aku bilang kamu mesti menemaniku transaksi mobil itu. Itu mau dikirm ke anak perempuannya yang kuliah di Yogya. Kamu minta tolong disini agar orang tuanya bisa mengira-ira, mobil ini pantas tidak buat anaknya. Ngerti?” jawab Andre dengan nada yang masih menahan kekesalan.

“Iya, maaf Andre” kata Rika berkaca-kaca.

“gara-gara kamu terlambat, aku jadi sial begini” keluh Andre.

Andre tampak tercekat dengan kalimat yang tanpa sadar keluar dari mulutnya. Mata mereka beradu. Kilatan mata Rika berubah, dari mendelik mendadak berkaca-kaca, lalu tumpah.

“Aku tidak membawa sial Andre” kata Rika sambil terbata-bata menahan tangisnya

[Bersambung part 11]

#J50K, Km 16300

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun