Mohon tunggu...
Hazmi SRONDOL
Hazmi SRONDOL Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis/Jurnalis

Jika kau bukan anak Raja, bukan anak Ulama. Menulislah...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sapaan "Assalamu'alaikum ya Rois Indonisi...!" kepada Presiden Indonesia

25 April 2014   02:48 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:14 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13983436151483691873

Sebenarnya saya sudah teramat cukup dengan statement kawan dari Solo soal ke-haji-an Jokowi di status komen fesbuknya.

Namun entah mengapa, mendadak saya mencabut kepercayaan ini setelah ia menuliskan panjang lebar kali tinggi tentang kisah kehajian Jokowi. Awal yang saya butuhkan adalah statement sederhana seperti "Bapak saya ikut walimatul safar pas Jokowi naik Haji" atau "ikut bantu ngurusin bikin banca'an berkatan hajinya" dan hal kecil lain seputar budaya mengantar haji ala Indonesia.

Namun, bukannya hal itu yang dibahas--malah lebay memposisikan Jokowi sosok yang paling diserang, anti narsis walau jelas dari fotonya jaman masih jadi walikota dengan becak dan gerobaknya adalah kenarsisan tingkat akut dan bla-bla-bla lainnya. Paling parah ya soal tahun naik haji Jokowi yang saling tumpang tindih antara tahun 2003 dan klaim tahun 2000.

Ya saya maklum, memang karakter 'sumbu pendek' ala projo belum bisa hilang. Semua strategi untuk menangkis pertanyaan masyarakat soal bibit-bobot-bebet Jokowi seperti di persiapkan. Padahal adalah hak seluruh warga negara untuk mengetahui syarat dasar 3B tersebut untuk semua calon pemimpinnya secara jujur dan terbuka. Kalau tidak berani dibedah bibit, bebet, bobotnya--ngapain juga maju nyapres?

Kalau dalam kelas beladiri--kasta Projo ini masih di sekitaran "bujutsu", alias teknik tangkis menangkis, ngeles mengeles atau berbalas pukulan. Masih jauh dari kasta "bushido" yang berbasis pemahaman esensial sebuah pertarungan ala Taichi/Aikijujitsu.

Apalagi di masukan dalam kelas "bushin" atau 'beladiri spiritual' ala silat Cikalong Pancer Bumi, Silat Cingkrik Qoning Betawi, Aikido murni ala Morihai Ushiba atau kelas kungfu "Panda" yang menemukan esensi jurus tertinggi berupa gulungan kertas kosong yang berarti "ikhlas".

Padahal, jikalau Jokowi belum haji pun tak mengapa. Kalau beneran sudah haji juga lebih baik. Karena esensi utama saya bukan pada hal tersebut. Saya lebih menyorot pengalaman beribadah ini untuk menyelesaikan salah satu masalah besar negeri ini yaitu: sistem perhajian itu sendiri.

Toh pak Harto juga pernah dengan polos, lugu dan jujurnya mengatakan "Tapi kan saya sudah Umroh?" saat ditolak menjadi anggota IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) pada akhir tahun 1980-an.

Dan penolakan ini bukannya membuat pak Harto marah, namun malah semakin menguatkan panggilan Allah ke tanah suci untuk segera menunaikan Haji tahun 1991 bersama keluarga, menantu (termasuk Prabowo), menteri dan kerabatnya.

Hebatnya lagi, kepergian Haji pak Harto ini membuat kalang kabut kerajaan Arab Saudi. Bukan apa-apa. Sebagai pemimpin negara dengan jumlah penduduk (waktu itu) 180 juta muslim, pilihan berhaji dengan biaya sendiri dan kelas 'rakyat biasa' itu malah bukan hal yang biasa.

Padahal ada sejenis protokoler yang biasanya dianut pemerintah Arab Saudi untuk pemimpin sekelas pak Harto, khususnya terkait masalah keamanan. Keinginan luhur pak Harto untuk berhaji dengan sederhana ala Umar bin Khatab dan protokoler kerajaan Arab Saudi ini pun akhirnya ditemukan titik tengahnya dengan menyiapkan beberapa askar (tentara) kerajaan yang mengawal pak Harto, bu Tien dan kerabatnya selama berhaji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun