Selasa (24/3/2015) kemarin saya hadir di acara sidang PK (Peninjauan Kembali) kasus kriminalisasi industri telko yang menimpa salah satu alumni ITB ini.
Sungguh dalam hati saya bercampur aduk antara kemarahan, kekesalan, prihatin, sedih dan lain sebagainya.
Ya, semenjak Indosat dijual tahun 2002 dan beralih kepemilikan. Indosat seperti sebuah pohon yang terlilit benalu. Kampanye soal perbaikan Indosat jika dipegang asing hanyalah omong kosong ternyaring yang pernah saya dengar.
Indosat hari demi hari terpuruk. Maksud hati pemerintah ingin untung, malah dapatnya buntung.
Ribuan karyawan-karyawan terbaik, lulusan sekolah dan kampus terbaik tergusur dan digantikan oleh orang dari negeri antah berantah yang tak kenal medan dan bahasa Indonesia. Tak jelas pula kompetensinya.
Tower-tower terjual dikala bisnis dunia sangat konsen dengan properti miliknya. Jangan-jangan, kelak indosat hanya tinggal lisensinya saja. Tak ada aset fisik yang tersisa.
Berharap transfer ilmu, e, malah ilmu kita disedot oleh mereka. Kalau cuman transfer bahasa Inggris, tukang becak di Malioboro juga fluent logatnya. Kenapa mesti impor?
Itu masih tak seberapa, usai Indosat hanya menyisakan 13% saham untuk pemerintah. Begundal-begundal oknum LSM bermain mencari celah. Mereka makin berani memeras Indosat. Jika tak diberi, satu korban sudah dibidik: Indar Atmanto!
Dan kini, hanya tinggal 1 peluru untuk melawan kompeni gaya baru ini, sindang PK.
Jika gagal, habis sudah salah satu direktur Indosat yang asli dari jalur staff karyawan. Semua direksi sebentar lagi hanya akan terisi orang asing yang tak tahu sejarah dan spirit "sumpah palapa" digital ini.