1. Nafsu Aluamah: Insting dasar manusia untuk makan, minum, berpakaian, bersenggama dan lainnya yang merupakan unsur simbolis dari tanah.
2. Nafsu Sufiyah: nafsu akan duniawi untuk dipuji, untuk kaya, mendapat derajad , pangkat. dan lainnya. Nafsu ini menggambarkan sifat udara yang selalu ingin memenuhi ruang selagi ruang itu ada (ruang kosong).
3. Nafsu Amarah: nafsu yang berkaitan dengan keinginan untuk mempertahankan harga diri, ego, emosi, marah atau sebutan lain yang bersifat panas laksana api.
4. Nafsu Muthmainah: nafsu yang mengajak kearah kebaikan. Berhawa dingin dan memberi kehidupan untuk diri sendiri dan orang lain. Sebuah gambaran dari unsur air.
Nah dalam tataran filosofi Jawa, keempat saudara (nafsu) ini bisa kita jaga, diruwat, dirawat dan dihormati–entah dengan simbolik bancaan/tumpengan atau hal-hal lain seperti puasa, dzikir dan ibadah ritual lain maka nafsu itu malah akan menjadi “pemomong” atau sang penjaga manusia. Namun sebaliknya, jika tidak dirawat atau dibiarkan semaunya, maka akan menghancurkan diri kita sendiri.
Atau dalam istilah lain, jika mampu megendalikan keempat saudara ini maka kita akan mampu menggendalikan sang “limo pancer” atau sering disebut juga “super ego”. Hal yang akan membuka “bashiroh“, yaitu mata bathin yang bersumber dari kesejatian ‘min Ruhi’ yang dianugerahkan oleh Allah sang Illahi.
Nah, saat dahulu–tidak kalah dengan film “Inside Out” yang mempunyai perwujudan sosok kartun, leluhur kita juga mempunyai gambaran yang tidak jauh berbeda. Keempat saudara dan satu sosok utama manusia (limo pancer) digambarkan dengan punakawan dan sang ksatria.
Punakawan yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng dan Bagong mempunyai beragam sifat yang berbeda-beda. Walau digambarkan dalam sosok lucu, tetapi punakawan juga terkenal mempunyai kesaktian yang luar biasa. Bahkan dewa-dewa di khayangan pun bisa gentar ketika salah satu Punakawan yaitu Semar sedang marah.
Kemudian, dalam ceritanya–para Punakawan ini selalu mendampingi sang Ksatria ketika dalam masa pertapaan, masuk hutan gelap yang penuh hewan buas dan raksasa. Dengan bantuan punakawan inilah, sang Ksatria mampu lolos dari aneka jebakan dan serangan hingga akhirnya, kemenangan besar bisa diraihnya.
Nah, sayangnya. Konsep yang dahulu sangat populer di Nusantara ini mulai berkurang pemahamannya pada generasi muda. Saya sendiri pun juga begitu, kalau saja tidak menonton film ini–mungkin juga kelupaan menjelaskan pemahaman budaya kita yang adiluhung ini.
Dengan hadirnya film “Inside Out” ini, memang satu sisi saya merasa terhibur, namun tetap saja muncul keprihatinan. Prihatin kenapa konsep “Sedulur Papat Limo Pancer” ini, versi animasi terbarunya malah orang Amerika yang membuatnya? Bukan orang kita sendiri.
Padahal, animator-animator Indonesia tidak kalah kemampuannya. Jangan sampai selanjutnya, local wisdom bangsa kita yang lain diambil lagi dan dimodifikasi dengan gaya mereka. Generasi dibawah kita pun hanya sekedar menjadi penonton…