[caption id="attachment_206426" align="aligncenter" width="518" caption="Diskusi Mencari Format penggunaan Dana USO - Mastel - Hotel Borobudur 9/8/2012"][/caption]
Sungguh mengagetkan saat salah satu pejabat di Indosat mengajakku bersama mas Arif L Hakim—Kompasianer sekaligus Pengajar Muda (PM) dari gerakan Indonesia Mengajar yang baru beberapa bulan ini purna tugas di Pulau Karas, Fak-Fak Papua.
Aku kaget bukan karena undangan acara diskusi tentang format penggunaan dana USO (Universal Service Obligation) atau sering di Indonesiakan menjadi program Kewajiban Pelayanan Universal (KPU) oleh Mastel (Masyarakat telematika Indonesia) ini yang dilaksanakan di Hotel Borobudur yang terkenal dengan menu sop buntutnya. Namun ada dua hal penting yang jauh sangat mengagetkanku.
Pertama: Dana.
Tentu saja ternyata dana USO ini sangat besar sekali. Kewajiban menyetor dana 1,25% dari pendapatan kotor, di ulang PENDAPATAN KOTOR dari seluruh operator seluler. Bayangkan saja, jika kita ambil perhitungan dari 3 besar pendapatan perusahaan telkomunikasi di Indonesia di tahun 2011 maka akan terhitung sebagai berikut:
(Telkom + Indosat + XL) * 1,25% = (71,9T + 20,6T + 18,9T)*1,25 = 1,4 Trilyun
Baru tiga perusahaan besar saja sudah mendapatkan dana 1,4 Triyun rupiah, bagaimana jika operator lain dimasukan seperti Axis, Three, Smartfren, Esia, Sampoerna Telcom dan lainnya dimasukkan? Tentu lebih membuat bergidik, dan untuk informasi penegas bahwa dana ini didapatkan tanpa perlu kerja keras seperti operator telkomunikasi lainnya. Apalagi jika kita membandingkan dengan laba bersih operator seluler seperti Indosat dan XL di tahun 2011 yang masih dibawah dana minimun USO tersebut.
Nah, kekagetan yang aku maksud tentu saja tentang acara itu sendiri yang membahas masukan penggunaan dana USO tersebut. Aku pikir, adanya program pengambilan dana 1,25% dari pendapatan kotor perusahaan telekomunikasi semenjak tahun 2003 sudah terdapat desain utama pemakaian dananya. Lha ini kok kesannya tidak, malah berembuk ulang ramai-ramai untuk pemakaian danannya.
Namun ada yang juga lebih mengagetkan, tersirat dari pertanyaan panelis di forum tentang belum/tidak adanya laporan keuangan hasil penggunaan dana tersebut. Rasanya kok kalah dengan majelis DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) di kampung-kampung yang rutin tiap hari jumat melaporkan hasil pendapatan kotak tromolnya dan biaya pengeluarannya.
Entah karena angkanya terlalu besar hingga merekapitulasinya jadi begitu susahnya atau memang sudah menjadi ajang... ehm... bancakan. Soal bancakan itu semoga saja hanya sekedar pikiran negatifku saja. Dari lubuk hati yang paling dalam, aku yakin bapak ibu pengurus dana USO pasti berpendidikan tinggi dan tidak nakal atas dana USO tersebut. Kan semua sudah mengerti resiko penyelewengan dana yang selalu dikuntit oleh KPK.
[caption id="attachment_206428" align="aligncenter" width="501" caption="Beberapa kasta program USO"]
Kedua, kastanisasi layanan USO.
Inilah yang sempat membuatku meradang. Ada sejenis kastanisasi atau pengkelasan layanan USO tersebut. Dari yang terendah yaitu Desa Dering, Desa Pintar, Pusat Layanan Internet Kecamatan (disingkat PLIK) dan lain sebagainya. Ada sedikit guyonan perihal singkatan PLIK ini yang ternyata dalam aplikasinya memang sangat PELIK. Apalagi kedepan, USO akan berubah menjadi UBO (Universal Broadband Obligation).
Nah, dua hal yang menjadi kekagetanku ya tentu saja pemisahan jasa suara Desa Dering dan PLIK tersbut. Padahal, sependek pengetahuanku, desain ini sudah ada solusinya. Solusi paling mudah bagi kita, apalagi warga Kompasiana tentu saja kisah perjuangan pak guru Arif saat memancing sinyal untuk pulau dimana beliau bertugas.
Dan hasilnya jelas, 2 buah BTS Indosat mini dengan bertenaga surya yang sanggat canggih, dengan berbagai macam teknologi kompresi dan sistem routing telefon untuk wilayahnya mampu memenuhi tiga kebutuhan dasar telekomunikasi sekaligus yaitu suara, SMS dan internet (broadband) walaupun hanya sekelas layanan data GPRS/EDGE. Jangkauannyapun luas, mampu menjangkau 2000 hingga 3000 an warga Pulau Karas.
Uniknya lagi, semenjak sinyal seluler hadir, banyak perahu bersandar di pulau tersebut. Tentu saja untuk bisa bertelefon atau SMS-an dengan saudara dan handai taulannya di seberang pulau. Perbedaan budaya telefon itu jelas terlihat dibandingkan dengan pengguna telefon seluler di Jakarta. Jika sinyal hilang sedikit, mention atau status di facebook dengan kata sinyal “kacrut” ramai beredar. Sedangkan masyarakat kepulauan dan terpencil, jika tidak ada sinyal akan mendekat ke daerah yang terdapat sinyalnya.
Sempat aku berfikir, akan terjadi delay yang lama saat menelefon bapak kepala desa dan mas Arif di Papua dari tempat tinggalku di Bekasi. Ternyata tidak. Suaranya sangat jernih dan dekat. Tidak terasa kami dipisahkan ribuan kilometer. Papua kok rasanya kayak disebelah rumah saja.
Nah, kembali ke perihal program Desa Dering tersebut. Kekagetanku semakin besar dan tidak tertahan setelah pak guru Arif menceritakan bahwa sekitar 6 bulan dari pemasangan BTS mini tersebut, hadir teknisi yang memasang telefon satelit USO tersebut. Sempat beberapa warga pulau seberang kegirangan luar biasa saat prosesi instalasi tersebut. Namun dengan wajah kecewa mereka berkata “Ah, buat apa barang bodoh-bodoh ini”. Kata ‘bodoh-bodoh’ dalam bahasa Papua merujuk kepada kata jadul atau kuno.
[caption id="attachment_206427" align="aligncenter" width="622" caption="pak guru Arif menceritakan kisah pencarian sinyalnya di depan audiens dan panelis MASTEL"]
Entah apa yang ada dibenak para petinggi USO dengan konsep pemasangan telefon umum satelit ini. Telepon umum yang hanya bisa menelepon, belum jelas bisa meneima telefonnya atau tidak. Bahkan bisa jadi, butuh waktu berjam-jam untuk menuju tempat telefon satelit tersebut. Sudah begitu, harga nya mahal pula. Masih jauh lebih mahal dari harga normal telefon seluler yang diterapkan di Karas.
Dengan konsep pemasangan teknologi ini, apakah mereka befikir bahwa masyarakat Papua dan Indonesia Timur lainnya begitu gaptek dan terbelakangnya? Hingga jika kelak dipasang telefon satelit mereka fikir akan senang dan bahagia? Tidak bapak dan Ibu, masyarakat Papua dan Indonesia Timur lainnya tidak sehina dan sebodoh yang dipikirkan.
Pelecehan intelektual ini namanya. Mereka sudah canggih. Bahkan disamping postingan pak guru Arif soal “Sinyal Itu Mahal, Jendral!” yang aku tenteng-tenteng saat mengajukan permohonan kepada petinggi Indosat, perihal fakta bahwa penduduk Karas, Papua sudah mempunyai sedikitnya dua ponsel smartphone juga aku sampaikan kepada mereka. Walau penggunaannya hanya sebagai music player MP3 mengingat belum ada sim card sebagai roh untuk menghidupkan Ponsel tersebut.
“Dan lagian, Om” kata pak guru Arief berbisik.
“Apaan mas?”
“Setelah dua hari terpasang, telepon satelitnya mati. Aku binggung mesti komplain kemana. Beda ama BTS mini, kalau ada apa-apa tinggal mention Om di twitter”
Haaaiiiyyyyaaaah!
Gua kan blogger Kompasiana mas, bukan teknisi.
[Bekasi, 13 Agustus 2012]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H