Mohon tunggu...
Hazmi SRONDOL
Hazmi SRONDOL Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis/Jurnalis

Jika kau bukan anak Raja, bukan anak Ulama. Menulislah...

Selanjutnya

Tutup

Humor

Serial Married Part 2: Ramalan Nenek Tukang Pijat

4 Januari 2012   00:49 Diperbarui: 4 April 2017   18:16 4750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1325638166646620161

Bidan rumah sakit itu tampak membiarkan pak Wanto beranjak dari tempat nya siuman sambil menggendong anaknya yang belum di beri nama itu. Ia berjalan berlahan menuju jendela rumah sakit, satu kamar kelas VIP dimana istrinya yang baru melahirkan itu tampak masih tertidur. Sepertinya efek obat bius atau kelelahan luar biasa membuatnya masih terlelap. Cahaya matahari pagi tampak menembus jendela, tidak terlalu terik namun cahaya yang menerpa wajah bayi mungil itu membuatnya terlihat jelas paras kemerahan wajahnya. “Ayu tenan anakku ini” kata Wanto seperti berbicara pada dirinya sendiri. Bidan itu tampak masih terdiam. Menunggu lagi. Sedangkan Wanto yang berwajah keras karena terbiasa jadi atasan di kantornya mendakak berubah. Berubah sangat melankolis. Mata yang terbiasa ototnya tegang tampak mengendor. Guratan-guratan keras di keningnya pun seperti melemas. Tak jauh berbeda dengan kain gordyn yang habis direndam beberapa hari oleh beberapa liter cairan pelembut pakaian itu. “Bidan, sebelum berkerja di rumah sakit ini. Kamu kerja dimana?” tanya Wanto tiba-tiba. “Klinik kecil pak” jawabnya jujur “Terus, bagaimana bisa kerja di rumah sakit ini?” tanya Wanto lagi. “Ya melamar lah pak. Masak nylonong begitu” jawabnya lagi “Langsung di terima?” “Tidak pak, 3 kali saya melamar jadi bidan disini–baru di terima” jelasnya “Dongkol gak?” “Ya dongkol gak dongkol, namanya juga usaha. Tapi sempat sedih, kesel dan lainya campur aduk sebelum diterima sih pak” “Nah itu diaaa!” kata Wanto tiba-tiba berkata dengan keras sambil mendadak tertawa. Tawa yang membuat istrinya mendadak bangun. Bayi di gendongannya pun mendadak menangis. Wanto kelabakan sepertinya menganghadapi tangis anaknya. Diliriknya bidan yang sedang memberi kode dengan tangannya agar menimang-nimang anaknya. Wanto pun mengikui gerakan tangan bidan itu. Benar! Bayi itu tertidur lagi… “Itu dia apa pak?” tanya bidan itu dengan penasaran. Ternyata rasa penasarannya tidak mampu ditahan lagi. Itulah bedanya jiwa dan fisik. Jika kebelet buang air besar, otot perut dan pipa pembuangan limbah perutlah yang menjadi kunci daya tahan seseorang menghadapi rasa kebelet itu. Namun rasa penasaran, tak tahu otot mana yang mesti ditahan. Walau lidah sudah digigit agar tidak bertanya. Tapi keceplosan juga… “Tadinya aku ingin sekali anak laki-lak, aku ingin punya putra mahkota. Putra mahkota kerajaan keluarga  yang bakal meneruskan tradisi PNS keluarga besar kami. Tapi, setelah melihat anakku ini. Aku tidak menduga akan secantik ini. Kamu tahu bidan, hanya Pangeran betulan saja yang pantas melamarnya. Lanangan biasa, minggiiiiiirrrr!” katanya dilanjutkan derai tawa penuh kepuasan. Sepertinya di otak Wanto terbayang betapa bangganya dia akan menolak lamaran para laki-laki ‘biasa’. Hal baru yang belum pernah dilakukannya. Kalau menolak pengemis dia pernah, menolak sumbangan juga pernah, menolak tawaran kreditan pun sudah pernah pula. Dari kridit panci, elektronik sampai kredit sepeda jengki. Konon di instansi tempatnya berkerja, apa-apa serba kredit. Jangan-jangan beli cancut pun mesti kredit. Sampai-sampai ada pepatah, kalau PNS belum kredit, bukan PNS sejati namanya. Entahlah… Cuman Wanto sedikit berbeda, dia tidak suka kredit. Dia lebih suka barang atau sesuatu yang diinginkannya dibayari orang lain saja. Hmm… mumpung pejabat. Apalagi posisinya yang stretegis, bagian perijinan. Wah, siapa yang tidak takut urusannya tidak mulus karena tidak dapat ijin? Nah, para tukang kredit ini dianggap menyebalkan bagi Wanto. Bahkan Wanto tak segan-segan mengusirnya. Apalagi menawarkannya di kantor. Tapi menolak yang satu itu, menolak lamaran sepertinya menjadi sensasi tersendiri buat Wanto. Bidan itu hanya geleng-geleng kepala melihat tawa Wanto. Walaupun dalam hatinya dia mengakui. Bayi itu sangat beruntung. Beruntung karena tidak mirip bapaknya. Tidak terbayang olehnya jika bayi itu mirip bapaknya, oalah…. badanya bakal serba bulet. Bulet badan, muka, hidung sampai bibirnya pun akan bulat tebal seperti roda ban seri radial. Halah-halah, kasian… “Mas…” mendadak istri Wanto memanggil suaminya saat berhenti tertawa. “Oh iya dik, ada apa?” tanyanya balik “Nama anak kita siapa? Mas belum memberi nama” Pertanyaan dadakan yang membuat Wanto mendadak kelimpungan. Memang dia sampai saat anaknya lahir, hanya mempersiapkan nama anak aki-laki. Dari nama tokoh wayang, artis Holliwood atau superhero sudah disiapkannya. Namun nama perempuan? Wanto kelimpungan sambil celingak celinguk. Untuk mengurangi kepanikannya, Wanto akhirnya menghidupkan TV di kamar rumah sakit itu. Kebetulan, televisi yang dinyalakannya sedang menayangkan sebuah film lama. Film yang dibintangi oleh penyanyi dangdut idolanya, Rhoma Irama yang berjudul “Melodi Cinta”. Mendadak Wanto tersenyum. “Rika saja dik. Beri nama anak kita Rika. Pasti besarnya lebih cantik dari Ricca Rahim istri Rhoma itu” katanya sambil tersenyum puas. Wati pun tersenyum, tersenyum sambil berguman pelan. “Untung saja TV nya tidak sedang menyiarkan acara Ria Jenaka, bisa gawat anakku diberi nama Semar, Petruk, Gareng atau Bangong” Suara perlahan yang didengar bidan itu dan disambut tawa tertahan olehnya. Memang bidan itu sering menemui nama-nama dadakan yang diberi orang tuanya. Nama yang didapatkan saat sang bapak, yang biasanya sebagai pemberi nama hanya mampu berfikir nama yang ada di sekitarnya. Pernah dia melihat anak diberi nama Konid*n, gara-gara bapaknya sedang batuk saat menunggui istrinya dilahirkan. …… “Bawa ke dokter!” kata Wanto. Rika yang baru beberapa bulan itu tampak terlihat kemerahan di pipinya. Wanto, sang bapak yang baru pulang dari kantornya itu panik. Udara bulan itu memang sedang pancaroba. Beberapa anak buahnya banyak yang ijin tidak masuk karena mengantar berobat anak-anaknya. “Nggak usah mas” tolak Wati halus “Loh, kamu ini! Anak sakit kok didiamkan. Apalagi bagian wajahnya. Kamu mau apa anakku yang cantik ini jadi jelek?!” bentak Wanto kesal. “Mas… itu bukan sakit kulit. Itu cuman..” kata Wati malas menjelaskan.. “Cuman apa? Apa!” Bentak Wanto mulai marah. TOK-TOK-TOK! Terdengar suara ketokan pintu di depan rumah yang disambung ucapan salam. Sepertinya dari ada tamu datang. “Kulonuwuuun… Rikaaaaa!” teriak seorang ibu-ibu tetangga “Dedek Rikaaaaa!” terdengar teriakan anak-anak kecil, sepertinya masih SD “Asalamualaeekoooom!” teriak yang ibu yang lainnya. Dan suara salam gaya masing-masing tetangga itu semakin ramai. Wanto pun segera keluar dan membuka pintu rumah. Benar, ada sekitar 5 tetangganya tampak riang dan ingin bertamu. Wanto dengan wajah kebingungan akhirnya mempersilahkan tatangganya yang serombongan masuk. Para tetangganya pun tanpa diberi aba-aba lagsung menuju ke tempat Wati dan bayinya. “Waduuuuh, iiih pipinya lucuuu!” jerit tetangga yang satu. “Matanya gede bangeeeet!” “Wah idep (bulu mata) matanya panjang-panjang” “Bangiiiir bangeeeet! Hidungnya lancip beneer!” “Wah bibirnya tipis, merah banget warnanya!” “Eh, kecil-kecil rambutnya sudah hitam lebat begitu yaaa? Gimana gedenya yaa…?” “Weleh-weleh, kulitnya bening banget… Kuning langsat begini… ck-ck-ck!” Wanto tampak kembang kempis hidungnya mendengar celotehan tetangganya. Semakin hilang cita-citanya dahulu ingin mempuanyai anak pertama laki-laki. Kini, bayi cantik membuatnya sangat bahagia dan senang. Seperti mempunyai mainan baru pengganti waktu nongkrongnya saatnya masih menjadi bujangan lapuk dengan teman-temannya. Namun mendadak kembang kempis Wanto berubah lagi. Rasa bangga itu berubah menjadi rasa panik saat tetangga-tetangganya mulai…. TOEEET! “Lucunya!” TOEEET! “Gemeeeeeeeeees! TOEEET! “Muaaaah!” Dan terlambat, Wanto tidak mampu mencegah cubitan gemas di pipi anak kesayangannya. Wanto cuman bisa berteriak disaat bayi kecil mungil itu menjerit menangis. OEEEEEEEEEK! “Sudaaaaaah! Jangan dicubiiiit! Jangan di suuuuuun!” Lalu Wanto pun merebut bayinya yang ditatap penuh keheranan tetangga-tetangganya. Istrinya tampak tersenyum dan menatap suaminya yang sepertinya baru tahu kenapa pipi anaknya seperti bercak-bercak kemerahan. Itu memang bukan penyakit kulit, campak atau sejenisnya. Itu ternyata bekas cubitan, towelan dan ciuman tetangganya. “Gawat! Bisa babak belur pipi anakku. Belum tentu steril lagi tangan dan bibir mereka. Haduh!” kata Wanto dalam hati. Wanto pun segera masuk ke kamar dengan membawa bayinya. Tetangganya hanya bisa melonggo saja. Wati hanya mengangkat bahu dan alis matanya tanda juga tidak mengerti perilaku dadakan suaminya yang memang aneh itu. ……. “Wanto, pijit anakmu itu. Daripada rewel.Kasihan, mungkin ada badannya yang kurang enak” perintah nenek Rika, ibunya Wanto yang sedang menengok cucunya di hari minggu itu . “Memang perlu bu?” kata Warto malah berbalik bertanya. “Iyalah To, biar anakmu bagus pertumbuhannya” “E…” “Sudah, nggak usah ngeyel. Buruan cari tukang urutnya!” kata nenek Rika, kali ini dengan nada menekan. Tepatnya memerintah. Beberapa jam kemudian, sekitar selepas lepas dhuhur. Warto segera keluar dari rumahnya memakai mobil minibusnya untuk segera mencari tukang urut. Tukang urut yang khusus untuk memijat anaknya. Pengalaman pipi merah Rika akibat cubitan tetangganya membuatnya lebih hati-hati memiih tukang urut. Untuk memastikan tukang urutnya bagus, Warto berencana akan melakukan uji kemampuan alias fit and proper test. ……… “Waduh, sakiiiiiit! Tidaaaaak!” jerit Warto kesakitan “Begitulah kalau tidak pernah pijat pak” kata pemijat bertangan kekar itu. “Tidak! Tidak! Ini sakit sekaliiiii!” “Kalau sakit dan berteriak, itu tandanya memang itu yang sakit” kata tukang urutnya. Sepertinya memang benar-benar Warto tidak tahan, tangan berotor itu sepertinya senang dengan teriakan mengaduh-aduh dari mulut Warto. Makin keras, makin keras memijitnya. Lalu secara reflek warto langsung bangkit dari dipan pijat dan membuat tukang pijatnya terkaget-kaget hingga kacamata hitamnya terlepas. Warto langsung mengeluarkan uang dari dompet dan memberiakan ke pemijatnya. Uang kembalian pun tidak diambilnya karena rasa sakit nya membuatnya kapok dan segera keluar dari bilik pijat itu. Jalannya sangat cepat, langsung memasuki mobilnya dan langsung memacu kendaraan itu menuju jalan raya. Warto menghela nafas, sambil mengemudi diliriknya plang ‘PIJAT URUT TUNA NETRA – Berijasah’ itu dari spion mobilnya. …………. “Gimana pak, mau langsung atau tidak?” tanya pemijat yang masih tampak muda itu. “Ya langsung saja lah…” kata Warto sambil memejamkan matanya. “……..” “Kok lama sekali mbak, katanya langsung” kata Warto “Ya sabar dong pak, kan banyak lapisannya” “Lapisan?” kata Warto heran Wartopun langsung membuka matanya. “WOI!” teriak Warto kaget “Loh kenapa pak?” gantian mbak itu terkaget-kaget. “Kamu kok malah bugil begitu. Katanya mau langsung” “Lha ini langsung pak….” “Hey! Hey.. Heeeeey!” kata Warto gelagapan saat mbak itu langsung memegang kaitan celana Warto dan berusaha membuka resletingnya. [SENSOR] Tak lama Warto keluar kamar pijat dengan wajah aneh. Mata kayu tapi muka cengengesan. Jalannya sempoyongan, berbeda sekali dengan saat keluar dari pijat berijasah sebelumnya. “Weleh-weleh… mosok anakku dipijet disini. Gendeng tenan si Anton ngasih rujukan tukang pijet. Dasar sableng!” batinnya dalam hati saat keluat dari panti pijat bernama aneka bunga itu. Panti Pijat yang ber merk “PUTIH-PUTIH MELATI” yang bukan Alibaba itu. ……… “Berapa umur anakmu?” tanya nenek pemijat yang tampaknya sudah ompong semua giginya. “Enam bulan mbah…” jawab Wanto perlahan. “Berapa?” tanya nenek tua itu mengulangi. “ENAAAAM MBAH! ENAAAAAAAM!” jawabnya lebih keras. “Oalah… Sembilan bulan tho. Sudah gede rupanya” “Pfffff…..” hela nafas Wanto kesal. “Ya sudah, bawa saja anakmu kemari. Mbah sudah tua. Nggak sanggup ke rumahmu” kata nenek pemijat itu menyarankan. “Oh Injih mbah” kata Wanto menurut. Lalu ia pun segera pamutan keluar dari rumah reyot yang di luarnya banyak mengantri ibu-ibu lain yang menggendong anaknya. Beberapa diantaranya tampak sakit dan lemas, namun banyak pula anak-anak yang sehat bugar dan ceria. Bahkan berlari-larian di jalan sempit depan rumah nenek pemijat tua itu. Sebelum naik ke atas kendaraaannya, tak lupa Wanto mampir ke warung rokok dimana beberapa saat sebelumnya Wanto nongkrong sambil merokok dan sempat frustasi tidak menemukan tukan pijat urut untuk anaknya.  Untung saja bapak penunggu warung itu memberi tahukan nya tempat adanya tukan pijat urut anak-anak yang menurut cerita bapak warung itu terkenal tok-cer pijatannya dan ahli meramal. Hmm…  meramal? …… “Wah, bagus itu mas. Kalau pemijatnya tua biasanya ahli dan banyak pengalamannya” kata Wati berbinar saat Warto bercerita tentang penemuannya lokasi nenek tukang urut itu. Hampir semua lokasi tempat pijat yang di rekomendasikan dan di rujuk oleh teman-temannya di ceritakan. Dari Pijat tuna netra, pijat akupuntur, pijat terapi air, pijat remuk tulang, dan pijat nenek tua terakhir itu. Kalau pijat di panti pijat ber merk kembang-kembangan ya tentu saja tidak. Bisa kacau dunia persilatan rumah tangga. Alamat bakal ada kalender merah dadakan dan tidak terjadwal. Gawat itu buat Wanto. Akhirnya, minggu depannya Wanto dan Wati pun berangkat ke tempat nenek pemijat tua itu. Sesampainya di rumah nenek pemijat, Warto langsung menyerahkan Rika yang masih bayi itu. Lalu dipangkunya dan kemudian tampak nenek pemijat mengosok-gosokan kedua telapak tangannya sambil komat kamit. Entah berdoa atau baca mantra. Tak lama kemudian, diusapkannya telapak tangannya ke seluruh badan Rika yang masih bayi. Dari tangan, punggung, kaki, dada, perut bahkan wajah bayi itu. Nenek itu tampak mengerutkan otot dahinya saat mengusap kaki bayi itu. “nak,lusa datang kesini lagi ya” kata nenek tua pemijat. “Injih mbah” kata Wati. Dan seusai urut pertama itu, dua hari berikutnya Wati dan wanto datang kembali. Begitu seterusnya hingga 3 kali. Namun saat yang ke empat kalinya, Wanto mulai timbul rasa malasnya. “Kok kita mesti bawa anak kita sering-sering sih dik?” tanya wanto “Ya nggak tahu lah mas. Coba kita tanyakan saja” “Malas, kayaknya nenek tua sialan itu cuman pengen uang kita saja. Mentang-mentang aku bawa mobil ke sana. Palagi pijatnya sebentar, malah cuman kayak diusap-usap begitu. Kalau begitu aku juga bisa dik” sunggut Wanto “Jangan Su’udzon begitu mas. Nggak baik sama orang tua. Mosok setua itu masih butuh uang banyak-banyak” “E , siapa tahu yang nyuruh anak-anak nya dik” elak wanto “….” Wati diam saja. Wati tahu betul tabiat suaminya yang kalau sudah malas dan berdebat paling tidak bisa dilawan. Diam adalah jurus terbaik untuk mendamaikan suasana yang tidak nyaman itu. “Lusa jangan lupa kesini lagi yah” kata nenek tua pemijat itu lagi saat pijatan ke empat. “E, kayaknya saya nggak bisa mbah. Saya ada dinas luar kota dari kantor” jawab Wanto. “Ya suruh istrimu naik angkot atau becak saja” “Istri saya ikut mbah, sama anak saya juga” “…….” nenek tua itu gantian yang terdiam “Memangnya anak saya sakit apa tho mbah sampai mesti pijat banyak-banyak begitu?” tanya Wanto mendesak “Anakmu tidak sakit” jawab nenek datar. “Lha kalau tidak sakit kenpa mesti sering-sering pijat disini?” tanya Wanto lagi. “Hmm.. begini nak. Anakmu cantik. Cantik sekali. Parasnya mengingatkanku akan cerita Ken Dedes dijaman dulu. Cuman sayangnya, ada katuranggan pada anakmu yang harus diperbaiki” kata nenek itu memulai penjelasannya. “Katuranggan? Emang ada apa dengan katuranggan anak saya mbah?” tanya Wanto binggung. “Kaki anakmu lemah, pantatnya sedikit turun untuk seusianya. Badannya juga agak bungkuk udang. Itu tanda kelak akan bernafsu tinggi terhadap laki-laki. Kakinya menunjukan kelak akan menjadi wanita pemalas, tidak mau berkerja keras dan penuh kesialan dalam hidupnya. Eman-eman secantik itu kok begitu.” Kata nenek itu lalu menghentikan bicaranya untuk mengambil nafas. “Tapi semua itu masih bisa diperbaiki nak, ya lewat pijat ini sampai tujuh kali. Seteleh itu baru sebulan sekali sampai usia dua tahun” tambah nenek tua pemijat itu mengakhiri. Warto tampak memerah mukanya. Namun cahaya sentir (lampu minyak) di rumah nenek itu menutupi wajah marahnya. ….. “Tidak! Tidak mungkin! Itu hanya alasan nenek itu agar kita jadi pelanggannya” kata Wanto sengit saat didalam mobil. “Ya jangan begitulah mas. Kita ikhtiar saja. Toh tidak mahal. Hitung-hitung beramal mas” kata Wati mencoba memberi saran. “TIDAK! Aku ini pejabat Wati! Mosok lulusan sarjana mau di kadalin orang tua bodoh yang sok tahu yang tidak jelas sekolah atau tidak” teriak Wanto “Mas…” kata Wati sambil memegang lengan Wanto yang masih menyetir. “Aku bilang TIDAAAAK!” [Bersambung ke Part 3] catatan: Lanangan: golongan pria Katuranggan: Ciri-ciri tubuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun