perempuan, tanpa memandang latar belakang hidup maupun pendidikan, untuk belajar bersama menulis fiksi mini. Meskipun bermarkas di Yogyakarta, anggota komunitas diikuti oleh para perempuan dari berbagai daerah selain Yogyakarta, seperti Bandung, Purbalingga, Semarang, dan lainnya. Tak heran, pada setiap launching buku antologi KPB, akan ada penulis baru dari daerah baru pula.
Komunitas Perempuan Bertutur (KPB) merupakan wadah bagiKPB dibentuk oleh Sri Yuliati dan Nena Cunara pada 12 Desember 2020 dan hingga saat ini telah meluncurkan 4 buku antologi. Berawal dari cerita pendek kemudian menetapkan pilihan untuk berkarya dalam bentuk fiksi mini. Penetapan jumlah kata pada fiksi mini pun bertahap, Â mulanya dari 500 kata, 300 kata, 200 kata, kemudian terakhir menjadi 180 kata. Jumlah terakhir itulan yang saat ini ditetapkam menjadi syarat dan ketentuan untuk ikut dalam antologi.
Fiksi mini menjadi pilihan KPB agar karya yang ditulis lebih singkat, padat, namun tetap berisi menarik. Selain itu, dengan ‘mini’-nya karya yang dituliskan, akan memberi ruang seluas-luasnya kepada pembaca untuk berimajinasi. Artinya, pembaca tidak hanya menerima apa yang telah disuguhkan penulis, tetapi juga diberi kesempatan untuk membuat akhir cerita (dalam benak). Bahkan, pembaca terangsang untuk menulis cerita lain dari ‘celah’ yang didapat setelah membaca fiksi mini. Hal ini diharapkan menjadi bentuk usaha keberlanjutan literasi bagi perempuan dengan membuat karya tulis.
Buku pertama KPB adalah 11 Perempuan Bertutur yang diluncurkan pada 13 Februari 2021 dan berisi 20 cerita pendek dari sebelas penulis dari Yogyakarta, Bogor, Purbalingga, Tasikmalaya, Semarang dan Bandung. Buku tersebut dapat kesempatan untuk diberi pengantar oleh dosen sastra di UGM, Dr. Aprinus Salam, M.Hum..
Buku kedua, yakni Tenedor Libre, diluncurkan pada 22 Desember 2022 sebagai cara KPB memperingati Hari Ibu. Tenedor Libre berisi 110 fiksi mini dengan pengantar oleh Ahmad Zamzuri (Balai Bahasa Yogyakarta). Tenedor Libre diikuti oleh 22 penulis dengan syarat dan ketentuan perempuan usia minimal 50 tahun pada tahun 2022 dan domisili di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Buku ketiga berjudul Morse yang berisi 200 fiksi mini oleh 40 penulis dengan pengantar oleh Ikun Sri Kuncoro yang diluncurkan pada 29 Juli 2023. Buku KPB kali ini diikuti oleh penulis termuda, 17 tahun, Zahwa Amallia siswa SMA N 5 Yogyakarta dan penulis tertua, 72 tahun, Tety S. Nataprawira dari Sukabumi Jawa Barat.
Buku keempat, yaitu Langkah berisi 214 fiksi mini oleh 60 penulis dengan ketentuan maksimal 200 kata. Buku ini mendapat kesempatan untuk diberi pengantar oleh penulis senior, yaitu Herry Mardianto dan launching pada 11 Mei 2024. Bertepatan dengan tahun diselenggarakannya pesta politik, karya-karya pada buku ini bertema ‘Perempuan dan Politik’. Meski bertemakan politik, buku ini juga diikuti oleh penulis termuda, yaitu Gendhis Manis siswa SMA Negeri 7 Yogyakarta.
Tantangan Komunitas Perempuan Bertutur: Fiksi Mini menjadi Seni PertunjukanÂ
KPB meyakini bahwa sebuah karya tulis tidak hanya berakhir dengan  dibaca sendiri-sendiri, tetapi juga bisa berubah wujud sehingga bisa tetap dibaca dan dinikmati bersama khalayak; di atas panggung dengan di-monolog-kan, di-storytelling-kan, atau di buat film. Oleh karena itu, KPB menggelar parade baca 200 fiksi mini pada Hari Sumpah Pemuda 2023 yang diselenggarakan di Museum Sandi Yogyakarta. Menampilkan 119 pembaca (pelajar & mahasiswa) yang membacakan karya-karya dari buku Morse.
KPB juga mendapat kesempatan untuk bergabung dalam acara rutin Pra Festival Sastra oleh Dinas Kebudayaan Kundho Kabudayan Kota Yogyakarta. Berkolaborasi dengan Komunitas Sastra Sompilan, pada acara Rendezvous Sastra (23/9/2024), tujuh anggota KPB membacakan masing-masing satu judul fiksi mini yang diambil dari buku Tenedor Libre, Morse, dan Langkah. Ninuk Retno Raras membaca karya Fadmi Sustiwi judul ‘Celemek’, Nunung Rieta membaca karya Nena Cunara judul ‘Lelaki ke-13’, Sabatina RW membaca karya Endang Wahyuningsih judul ‘Mugi Rahayu’, Sardiyani Iyenk membaca karya Atik HW judul ‘Undangan Yunin’, Choen Supriyatmi membaca karya Ariani Kartika judul ‘Bang Mar Ingkar Janji’, Titut Puspa membaca karya Titin Suryani judul ‘Ayahku Bukan Cinta Pertamaku’, dan Nana Lusiana membaca karya Terra Triwahyuni judul ‘Nasihat Ibu Malin (1). Acara rutin Festival Sastra  Dinas Kebudayaan Kundho Kabudayan Kota Yogyakarta menjadi tantangan tersendiri bagi anggota KPB bahwa tidak hanya bisa menulis namun juga mampu memvisualkan menjadi seni pertunjukan.