Mohon tunggu...
SRIYATI -
SRIYATI - Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Harapan dan Tantangan Industri Bauksit dan Smelter Alumina

23 Juni 2015   23:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:02 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pendahuluan

Biji bauksit terjadi di daerah subtropis karena daerah ini mendukung terjadinya proses pelapukan.  Bauksit sering ditemukan dalam lapisan datar dan tidak terlalu dalam, lebih mudah dijumpai di hutan biomas, sehingga penambangan bauksit sering mengorbankan hutan.  Bauksit ditemukan sejak tahun 1821 di Les Baux.  Di Indonesia, bauksit banyak terdapat di daerah Bintan dan Kalimantan.  Cara penambangannya terbuka.  Bauksit dihaluskan, dicuci dan dikeringkan, sesudah itu mengalami pemurnian menjadi oksida aluminium atau alumina.

Terdapat dua jenis alumina, yakni chemical grade alumina (CGA)  dan smelter grade alumina (SGA).  CGA produk hilirnya merupakan industri kimia, seperti kosmetik, bahan pendukung komponen fungsional dan komponen elektronik, diantaranya refractories, abrasives, produk bangunan, Integrated Circuit (IC), bahan untuk LCD screen dan lain-lain.  SGA digunakan untuk pembuatan logam aluminum yang produk hilirnya adalah industri aluminium. 

Kandungan alumina yang terdapat di dalam mineral bauksit dapat dimanfaatkan sebagai penyangga (buffer) katalis yang digunakan dalam proses hydrotreating yang bertujuan untuk menghilangkan pengotor-pengotor yang masih terdapat pada minyak bumi seperti senyawa sulfur, nitrogen dan logam.  Aluminium merupakan logam berwarna putih keperakan dengan sifat ringan, kuat, namun mudah dibentuk.  Bobotnya sekitar sepertiga dari baja, kuningan atau tembaga dari volume yang sama, membuatnya sering digunakan dalam konstruksi bangunan.  Aluminium memiliki kepadatan rendah dan daktilitas tinggi membuatnya cocok untuk transmisi listrik tegangan tinggi jarak jauh.  Aliminium menggantikan tembaga dalam transformator dan sistem kabel karena memiliki konduktivitas listrik dua kali.  Ketahanannya terhadap korosi dan kemampuan untuk membentuk paduan dengan logam lain, memiliki sifat termal, yaitu dengan cepat menyebarkan panas atau dingin, memiliki sifat estetika didukung dengan harga yang murah membuatnya sangat efisien untuk secara luas digunakan dalam industri transportasi dan otomotif.  Aluminium bersifat non-toksin, yang membuatnya baik untuk kemasan makanan, minuman, dan obat.  Aluminium dengan kadar 99,980 – 99,999% digunakan dalam CD dan peralatan elektronik lainnya.  Banyak produk lain yang menggunakan aluminium, meliputi peralatan rumah tangga, tabung gas, konteiner, sepeda dan lain-lain. 

Selain dari tambang, aluminium dikenal sebagai logam yang bisa didaur ulang, sehingga membuat ketersediaannya melimpah.

Indonesia adalah salah satu produsen bauksit terbesar di dunia.  Menurut Berita Industri dari Kementerian Perindustrian total jumlah cadangan bauksit di Indonesia mencapai 108 juta metrik ton. Namun, tiap tahun sebanyak 15 juta metrik ton diekspor ke Jepang dan Cina  dalam bentuk mentah.  Menurut (Faisal Basri, 2014), pada tahun 2004 ekspor bauksit masih 1 juta ton. Hanya membutuhkan waktu enam tahun ekspor bauksit meningkat 27 kali lipat menjadi 27 juta ton. Setahun kemudian melonjak lagi menjadi 40 juta ton. Tahun 2013 ekspor bauksit diperkirakan sudah menembus 50 juta ton, mengingat realisasi ekspor Januari-Oktober sudah mencapai 46 juta ton.  Sebagai penghasil bauksit, Indonesia belum memiliki pabrik pengolahan bauksit menjadi smelter alumina sehingga alumina sebagai bahan baku untuk pembuatan aluminium harus diimpor dari negara Australia dan India.  Melihat manfaat aluminium, peluang pasar yang menjanjikan, dan Indonesia produsen bauksit terbesar di dunia, kiranya amat miris kenyataan di atas bagi kita.  Ibarat petani padi, hasil panen padi kita jual semua, dan harus membeli beras  karena kita belum mampu (mau) menumbuk/menggiling padi sendiri.    

Indonesia sangat membutuhkan pabrik pengolahan dan pemurnian bauksit menjadi alumina karena negara ini merupakan salah satu eksportir bauksit terbesar di dunia selama periode beberapa puluh tahun terakhir.  Dengan ketidaktersediaan pabrik pengolah bauksit secara otomatis industri aluminium nasional mengalami kekosongan di sektor hulu. Namun baru mulai ada pemainnya di sektor antara dan ramai pemain di sektor hilir.  Coba kita tilik nilai tambah yang akan didapat apabila kita memproses sendiri bauksit.  Menurut (Kemenperin, 2013) nilai tambah hasil  pengolahan dan pemurnian bauksit menjadi alumina sangat tinggi, bisa mencapai 20 kali lipat. Apalagi jika alumina sudah diolah menjadi aluminium ingot.  Menurut (Faisal Basri, 2014) harga bauksit di pasar internasional sekitar 30-35 dollar AS per ton, harga alumina sekitar 350 dollar AS per ton, dan harga aluminium sekitar 2.000 dollar AS per ton.Angka ini didukung (Selasar.com, 11 Juni 2015), bahwa pengolahan bauksit menjadi alumina berpotensi meningkatkan nilai tambah lebih dari 800% dan menyerap tenaga kerja lebih dari 300%, dengan rincian

Untuk setiap 750 ribu ton bauksit yang ditambang:

                                            penerimaan neg.      keunt. perush          upah kary.          jasa & pengemb. daerah   

jika diekspor ke luar negeri         $  3,8 juta               $   2,1 juta             $ 0,6 juta                  $ 0,5 juta

jika diolah di dalam negeri          $ 23,8 juta               $ 11,5 juta             $ 3,9 juta                  $ 17,9 juta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun