Haji Kibay terkenal di penjuru Desa Pucuk Bambu dan sekitarnya. Selain punya kekayaan yang melimpah, ia memiliki sifat pemurah. Haji Kibay bagaikan pahlawan yang sangat berjasa bagi penduduk desa. Kedermawanannya dirasakan oleh setiap fakir miskin, tua renta, janda dan anak-anak yatim. Setiap bulan mereka yang membutuhkan mendapatkan uluran tangan berupa sembako dan uang.
      Pengusaha sukses itu menjadi jawaban atas setiap permasalahan masyarakat. Misalnya ketika beberapa acara peringatan hari besar Islam. Untuk mengundang ustaz, pengurus masjid terkadang kesulitan mengutip iuran dari masyarakat. Menagih uang beberapa ribu perak untuk keperluan acara bukan hal mudah. Padahal, dalam rapat telah disepakati dengan anggukan kepala dan suara. Kesulitan ini tidak terjadi lagi. Haji Kibay selalu menjamin ustaz yang datang sekaligus amplopnya.
Selain itu, ketika hari raya iduladha, ia selalu menyumbangkan satu ekor kerbau sesuai banyak penduduk. Hal ini menambah jumlah hewan kurban. Jika hanya mengandalkan peserta kurban yang ada pastilah tidak cukup. Masyarakat yang hidup mampu bisa dihitung. Ada pun yang mampu dan mau berkurban sedikit. Jika pun ada, mendekati hari raya, ada saja yang mundur dari pendaftaran dengan beragam alasan. Hal ini mengacaukan panitia. Jika demikian, ketua RT mendatangi utusan Haji Kibay untuk menggenapkan peserta. Bantuan dan kebaikan Haji Kibay menjadi inspirasi orang berbuat baik.
      "Seandainya nanti kaya raya, aku ingin berbuat baik seperti Haji Kibay. Membantu setiap orang yang membutuhkan," ucap seorang laki-laki di sebuah warung kopi.
      "Alah, itu rencana kamu sebelum kaya, belum tentu nanti. Dalam pepatah, kacang sering lupa kulit," celetuk salah satu pria, bersambut gemuruh tawa yang bercampur asap rokok dari beberapa penikmat kopi yang duduk di kursi berhadapan meja kayu.
      "Terserah mau dianggap khayalan, yang penting punya niat baik," balas pria itu tidak terima.
      "Kita lihat nanti," timpal yang lain. Suasana warung sederhana itu tampak ramai. Beberapa pria paruh baya sengaja merehatkan diri setelah pulang dari kebun dari beragam aktivitas, mulai dari menerima tenaga upahan, buruh angkat dan nelayan ikan dari sungai.
       "Jika Haji Kibay meninggal, apakah anaknya akan melanjutkan bantuannya selama ini?" Pertanyaan salah satu dari mereka membuat suasana hening sejenak.
      "Bisa, jika anaknya dia." Seseorang menunjuk pada pria pertama yang bermimpi menjadi orang kaya. Semua yang hadir terkekeh.
      Perbincangan di warung desa terus berlanjut. Mereka memuji keberhasilan bisnis dan investasi yang dilakukan pria pensiunan tentara itu. Memang tidak banyak orang kenal dan bertemu Haji Kibay. Ia menetap di pinggiran kota. Menyalurkan bantuan diserahkan kepada anak buahnya. Ia bukan pribadi yang turun ke kampung-kampung memamerkan kebaikan. Tidak pula tergabung dengan politikus desa.