Seseorang pantas disebut guru jika tugas yang dilakukan adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan anak didiknya kepada kebaikan.
Bagaimana jika yang dilakukan seorang guru malah sebaliknya. Seperti kasus Herry Wirawan yang tega memperkosa santriwati di pondok pesantren miliknya.
Saya sampai tidak sudi menulis kata guru untuk mengawali nama Herry Wirawan. Sangat tidak patut menempatkan gelar guru dalam namanya. Sungguh mencoreng nama baik dari guru.
Dia bukan guru, dia penjahat seksual berkedok guru. Penjahat yang merusak anak-anak masa depan bangsa tidak pantas disebut guru.
Ironisnya, Herry Wirawan memperkosa santri dalam kondisi apapun. Termasuk, santriwati yang dalam keadaan menstruasi.
Melansir dari laman kumparan, dalam surat dakwaan jaksa menyebut salah satu korban bahkan dipaksa untuk melayani nafsu bejatnya meski sedang haid.
"Ketika anak korban sedang haid terdakwa dengan cara paksa dan kasar terus menyuruh anak korban untuk terus melayani nafsu bejat terdakwa untuk berhubungan intim," demikian bunyi dakwaan.
Kekerasan seksual terhadap anak bukanlah tindakan yang dianggap sepele. Dampaknya bukan hanya dirasakan pada saat ini saja namun juga dimasa mendatang.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana trauma yang dialami oleh korban. Kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak hanya melukai fisik namun juga psikis.
Berhubungan seksual yang dilakukan dalam keadaan menstruasi tidak hanya melanggar hukum agama namun juga berbahaya bagi kesehatan.