Mengetahui koordinat Alloh.
Sesungguhnya ia privasi antara setiap insan dengan yang menciptakan.
Ditengah sulitnya himpitan ekonomi, silaturahmi yang mungkin terbatas jarak, amalan amalan amalan dari guru guru kita yang mungkin kita bingung ikut siapa. Sesungguhnya carilah yang termudah kemudian ikut di sarungnya dengan santun takdim lahir wal batin.
Ketika banyak berbeda pendapat, cukuplah kita bersholawat. Meng *asah* kembali interpresonal kita.
Ada anak kyai menyalahkan seorang gus, ndak apa apa kita santri atau orang awam biasa tentunya nasabnya ndak seberuntung mereka yang hingar bingar kehidupannya berkah, cukup buat kita matur nuwun dan mengingat kekurangan diri kita , kewajiban  sebagai seorang hamba, kewajiban sebagai seorang manusia.
Juga seyogyanya seorang gus ndak membantah serta memblok kembali dengan barikade pernyataan, puasa kita diuji untuk menahan, sehingga mata kita melihat alangkah kecilnya diri kita dihadapannNya, ia maha mencukupi tanpa merumangsani sehingga muncul sifat asih terhadap manusia dengan menjadi manusia.
Sampai tahapan berikutnya mengasuh diri kita, ruh kita, keluarga kita mereka yang kita sayangi mereka yang nasibnya mungkin ndak seberuntung kita, cukup dengan berucap Alloh ataupun bersholawat.
Menjadi hamba Alloh al faqir masih terlalu jauh, menjadi rakyat yang baik juga masih terlalu faqir. Menjadi umat nabi Muhammad adalah keberuntungan tersendiri, seyogyanya dengan membuat orang lain berharga dan bahagia dengan kehadiran kita. Meski dg doa yang mungkin saudara kita ndak sempat mendengar, melihat dan merasakan, namun yakinlah, fitri itu adalah untuk mereka yang benar benar baik, benar benar dan sungguh sungguh takut akan kuasa Nya, jangankan di khayalak ramai, saat sendiri pun mengingat kekasihNya.semoga itu, aku dan kita semua. Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H