Dulu kau lahir seperti bintang di langit cerah
Wajahmu manis bagai roti dengan gula tabur yang mewah.
Tawa kecilmu, ah, mengisi rumah dengan keajaiban
Seperti lilin di gelap, hangat dan penuh harapan.
Bungsuku, kau adalah anugerah di perjalanan.
Di usia tujuh, kau jadi badut tanpa bayaran
Melempar senyum seperti pelukis di atas kanvas impian.
Kau tanya, "Ayah, kenapa bulan tak pernah tidur?"
Lalu tertawa sendiri, seolah jawabannya sudah maklum.
Ketika Kau kecil, hidup kami penuh humor yang harum.
Namun datang usia sembilan, badai kecil mulai datang
Kau tutup telinga, tak mau dengar saran-saran kami yang panjang.
Tiba-tiba kau suka melawan, membantah bagai penyair malang,
Seragam sekolah tak pernah rapi, sepatu selalu menghilang.
Anakku yang dulu lucu, kini bagai misteri hilang terang.
Kau bilang, "Biarkan aku hidup dengan cara sendiri,"
Kami hanya bisa menarik napas panjang setiap hari.
Tembok kamar jadi saksi betapa kau sering berseru
Seperti kicau burung yang tak tahu kapan harus berlalu.
Kami hanya ingin kau kembali, meski perlahan berseru.
Nak, suatu saat kau akan tahu arti jerih payah
Hidup bukan hanya soal kebebasan yang mewah.
Semoga kau jadi cahaya, menerangi dunia di sekeliling
Menjadi orang yang bermanfaat, meski kini kau harus berguling.
Dan saat itu, kami akan tersenyum, mengenangmu tak akan berpaling.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H