Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Slow Living: Menyelaraskan Hidup dengan Alam dan Budaya

21 Desember 2024   06:32 Diperbarui: 21 Desember 2024   06:32 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah Anda membayangkan pagi yang dimulai dengan kicau burung, udara segar yang menyelinap melalui jendela, dan aktivitas harian yang dimulai tanpa tergesa-gesa. Petani menanam padi dengan tangan, anak-anak bermain di tepi sungai, dan masyarakat berkumpul di bawah pohon besar untuk berbagi cerita?

 Di tempat ini perayaan budaya menjadi pengingat bahwa waktu tidak harus diisi selalu dengan pekerjaan semata. Kita bisa menari, bernyanyi, atau sekadar berkomunikasi, mengobrol—bukan untuk tujuan tertentu, tetapi untuk merawat jiwa. Di sini, slow living hidup dalam tradisi, dalam cara masyarakat menyatu dengan ritme alam.

Slow living bukan sekadar konsep, tetapi sebuah cara hidup. Ia lahir dari kesadaran akan kerentanan manusia di tengah arus modernitas yang serba cepat, di mana waktu sering kali terasa seperti musuh daripada sahabat. Slow living adalah antitesis terhadap kesibukan tanpa arah; ia mengajak kita untuk menghargai momen, menikmati perjalanan, dan memberi ruang untuk refleksi.

Di sebuah sudut yang tersembunyi dari hiruk pikuk dunia. Desa Tenjolaya berdiri sebagai oase keindahan dan ketenangan. Desa ini, terletak di Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung, adalah perwujudan harmoni antara manusia dan alam. Di sini, sawah membentang luas seperti permadani hijau, sungai mengalir jernih membawa cerita waktu. Peternakan sapi dan ayam potong menjadi bagian dari ritme kehidupan. Setiap akhir minggu, desa ini berdenyut dengan perayaan—nyanyian, tarian, dan seni silat yang melibatkan seluruh masyarakat, menjaga api tradisi tetap menyala. Dalam suasana yang dipenuhi oleh pelestarian budaya dan keajaiban alam, Tenjolaya menawarkan lebih dari sekadar tempat tinggal; ia adalah ruang di mana slow living menemukan maknanya.

Irigasi dan sawah di Desa Tenjolaya. Dokpri
Irigasi dan sawah di Desa Tenjolaya. Dokpri

Slow Living: Sebuah Konsep tentang Waktu

Slow living adalah filsafat hidup yang menantang hiruk pikuk dunia modern. Slow living adalah seni menciptakan harmoni antara diri dan alam. Ia berbicara tentang menikmati waktu, bukan mengalah padanya. Di tengah arus globalisasi yang memaksa kita berlari tanpa jeda, slow living adalah undangan untuk berhenti. Bukan berhenti sebagai kekalahan, tetapi sebagai cara untuk benar-benar hidup—menikmati apa yang sering kita abaikan: aroma tanah basah setelah hujan, cahaya Matahari yang memantul dari permukaan sungai, dan nyanyian jangkrik di malam hari.

Di Tenjolaya tempat saya tinggal, konsep ini seolah menemukan ruangnya. Desa ini bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi sebuah panggung kehidupan di mana manusia, alam, dan budaya bermain bersama. Saya memiliki impian tentang sebuah tempat yang sempurna: sawah yang membentang, perkebunan yang subur, sungai yang mengalirkan kehidupan, peternakan sapi, ayam, bahkan kuda yang berderap di antara rerumputan. Impian itu, nyatanya, tidak jauh dari kenyataan sehari-hari di Tenjolaya.

Di Tenjolaya, waktu mengalir seperti aliran air sungai yang jernih—pelan, jujur, dan menyentuh setiap sudut jiwa. Di sini, saya bisa duduk di bawah rindangnya pepohonan, melukis langit yang terus berubah warna, dari biru pagi yang cerah hingga jingga senja yang puitis. Tangan saya akrab dengan tanah, merawat bunga yang mekar perlahan, seolah-olah menyapa semesta dengan keindahan yang tak pernah tergesa. Berkebun menjadi sebuah dialog sunyi dengan bumi, tempat saya menggenggam benih, menanam harapan, dan melihat keajaiban tumbuh tanpa paksaan. Setiap daun baru yang muncul, setiap kelopak yang terbuka, adalah pelajaran kecil tentang kesabaran dan keterhubungan. Di desa ini, pertumbuhan tanaman bukan sekadar proses biologis, tetapi simfoni alam yang mengingatkan saya bahwa hidup adalah perjalanan yang layak dinikmati perlahan, setapak demi setapak.

Panen Raya di Desa Tenjolaya. Dokpri
Panen Raya di Desa Tenjolaya. Dokpri
Menghidupkan Slow Living di Tenjolaya

Slow living bukan hanya tentang memperlambat langkah, tetapi juga tentang kedalaman hidup. Di Tenjolaya, kehidupan berjalan dengan ritmenya sendiri. Masyarakat di sini merayakan kebersamaan—setiap minggu ada perayaan yang melibatkan semua orang. Mereka bernyanyi, menari, bahkan mempertunjukkan silat, seni bela diri tradisional yang menjadi warisan leluhur. Tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi cara masyarakat menjaga hubungan dengan akar budaya mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun