Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Debu di Antara Cahaya

4 Oktober 2024   17:39 Diperbarui: 4 Oktober 2024   17:40 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Kau datang dari Tuban

di bawah rinai hujan membawa kisah

seakan bisikan dalam angan

tentang Ronggolawe, tentang luka-duka  yang tertahan
tentang semangat Adipati yang tak pernah padam.


Suaramu mengalir, lembut seperti waktu
Kau bercerita tentang perang yang tak kunjung padam
tentang Majapahit
tentang kejatuhan yang terasa abadi
namun di dadamu, api tak pernah mati.


Ronggolawe---pernahkah dia berkhianat?
Atau sejarah yang mengaburkan watak?
Kita hanya manusia, menafsir kabut tak berjejak
seperti aku, meraba perih di dada yang pekat
antara malam yang rebah dan pagi yang tak jelas.


Dari Tuban, kau bawa
bukan sekadar cerita
tubuhmu adalah ingatan besi dan tanah
seperti Ronggolawe yang gagah
namun tetap berserah.


"Dukamu bukan kerajaan yang runtuh,
hanya pertempuran yang tak pernah rubuh."
Ronggolawe pernah jatuh,
tapi tak tunduk pada waktu yang berlabuh.
Aku mendengar suaramu, gemerisik dibalik sunyi
seperti daun yang berserah pada hujan


Inikah hidup?
Pada akhirnya kita semua prajurit yang bisu
di tubuh yang rapuh
di dunia yang pelan-pelan runtuh.


Di ujung malam, kau tersenyum
dengan keyakinan yang tak pernah pudar
Kau berkata: "Tak ada yang sia-sia
segala derita adalah titian cahaya."
Luka dan duka bukanlah  akhir
melainkan tanda bahwa hidup masih berdetak
Kita lahir dari perih yang melekat
Menjadi utuh dalam semesta yang pekat.


Luka -duka  adalah langkah panjang
bukan belenggu yang menyusup dalam
Kita semua adalah tubuh yang siap menghadang
tak gentar pada gelap yang meradang
Kau tunjukkan jalan tanpa garis
di mana Ronggolawe berlari tanpa tangis
dari Tuban kau ajarkan aku berdiri
hingga kekal  menyerah di kaki.
Bahwa luka tak abadi
dan cahaya menunggu di garis tersembunyi.



Bandung 04 OKtober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun