Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Multiple Myeloma

25 September 2024   06:24 Diperbarui: 25 September 2024   06:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Kanker R S Al Ikhsan ( sekarang sudah berganti nama). Dokpri

Ada  angin muson  yang datang dari balik musimMultiple Myeloma, masuk tanpa mengetuk pintu, tak  membawa salam.Di dalam tulang yang seharusnya memahat hidup
Ia menjalar, seperti tentakel-tentakel  yang ingin mencengkram mangsa.
Sel-sel plasma mengurai, mengganda tanpa lelah
Bagai cerita yang tak pernah dimulai, tapi kemudian punah
Dan ibu,  tubuhnya menjelma kertas putih, kosong
Menuliskan  takdirnya  dengan tetes darah yang jatuh,
Satu per satu.

Hari-hari adalah angka yang terus berubah
Haemoglobin yang menurun seperti hujan yang tak kunjung datang
Trombosit menciptakan drama di dalam tubuhnya
Naik, turun, seperti anak tangga menuju kota yang tak ada di peta
Darah, yang  membawa pesan hidup
Kini kehilangan nadanya sendiri, berputar di pusat tubuh yang meluruh
Di ruang rawat inap, waktu menjadi sangat lambat
Mengapung di udara seperti debu dan kau tahu Bu,
bahwa debu, pada akhirnya, selalu jatuh ke tanah.

Dokpri
Dokpri
Setiap minggu, labu-labu infus datang dengan gaun hitam
Seperti tamu yang tak diundang, duduk di meja makan
Dan delapan puluh tablet ia telan dengan rasa getir yang diam
Racun yang menjanjikan hidup, tapi tak membawa harapan
Memar di seluruh tubuhnya adalah lukisan yang tak pernah selesai
Hipotensi mengantar tubuhnya ke dunia setengah sadar
Angka-angka  darah jatuh ke jurang yang tak berpeta
Dan oksigen? Hanya suara mesin yang berulang
Seperti mantra yang tak pernah ia pahami.

Waktu di ruang ini tak bergerak, hanya berderak
Menjaga kabut tebal yang menutupi jendela
Obat-obatan datang dan pergi
Tak ada yang bisa menjawab teka-teki ---trombosit melonjak seperti mercusuar yang hilang
Malam-malam panjang, seperti puisi yang kehilangan sajak
Ibu berbicara sendiri, mengulang percakapan dengan bayangan masa lalu
Ia mengenang
Hari-hari ketika tubuhnya tak terhempas angin
Ketika dunia masih damai penuh warna.Kini, yang terlihat hanya monokrom.

Cucumu  yang selalu menemani  masuk ke dalam ingatan
Seperti sebuah mimpi yang selalu ia tunda
Tangan kecil  itu, bermain di antara hewan-hewan mainannya yang
berlarian di antara sel-sel yang tak lagi mengenali dirinya
Dan ibu, di tengah kesakitannya yang makin dalam
Memilih diam. Realitas dan ilusi menyatu, ia tak  tahu dimana ia berada
Yang ia inginkan hanyalah kehadiran
Sebuah kehadiran yang nyata, meski hanya sesaat.

Pada tengah malam itu , suara detak jantung itu terhenti
Cucunya  dalam lelap, nafasnya tengah menyambung mimpi yang tak selesai
Ibu melepaskan nafas terakhirnya seperti debu yang dihembuskan angin
Ringan, melayang, terbang ke dunia yang ia rindukan
Tidak ada jeritan, tidak ada suara perpisahan
Hanya diam yang memenuhi seluruh ruang
Sajadah terakhirnya adalah napas yang hilang
Bulan yang pucat menyentuh wajahnya dengan lembut
Dan tubuh itu, kini terlepas dari rasa sakit
Menjadi bayangan, menghilang ke tempat di mana waktu tak lagi menyiksa.

Bandung, 25 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun