Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Metastasis

13 September 2024   07:53 Diperbarui: 13 September 2024   07:56 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diri. Dokpri

Ada suara yang berdesir di bawah kulit,tidak berteriak, tak menangis, hanya berbisik lirih.Ia tak meminta dilihat, namun ia tumbuh,
seperti akar yang tak pernah menyentuh tanah,
menjalar, mencari tempat untuk bernapas.
 
Tubuh ini pernah jadi rumah yang kukenal,
namun kini menjadi labirin,
di mana setiap belokan menyimpan teka-teki baru.
Setiap helaan nafas adalah pertanyaan,
dan setiap detak jantung, adalah jawaban yang tak pernah jelas.
 
Di dalam darahku, ada sungai kecil mengalir perlahan,
membawa rahasia yang terus berkelindan
Ada hujan yang turun, namun tak membasahi tanah,
ada angin yang berhembus, namun tak menyentuh wajah.
Mereka bilang, "ini adalah pertarungan,"
tapi aku hanya merasa tubuhku menjadi perahu
yang hanyut di lautan tanpa arah.
 
Dalam perjalanan ini, Levityroxine sodium hadir seperti kabut pagi,
pelan, namun meninggalkan jejak dingin di tulang-tulangku.
I-131 adalah hujan yang datang di sore hari,
setiap tetesnya membawa dingin yang menusuk,
namun dalam keheningan itu, aku bertahan.
Tubuh ini adalah medan perang,
di mana setiap obat adalah pedang,
dan aku adalah prajurit yang terhuyung di antara garis hidup dan mati.
 
Malam-malam panjang terulur seperti benang halus,menunggu terurai, atau mungkin terputus.
Aku bertanya pada langit,
berapa banyak cahaya yang harus hilang sebelum gelap datang?
Dan dalam setiap bintang yang jatuh,
ada nama yang tak pernah kembali.
 
Ibuku, adalah sungai yang diam-diam mengering,
airnya lenyap tanpa riak,
dan ketika aku menyentuh permukaan,
ia hanya memberikan dingin yang tak bisa kuhapus.
Aku tahu, sungai itu kini mengalir di tempat lain,
tapi di sini, ia meninggalkan kekosongan.
Kudengar mulutnya mengucapkan Bertozomid, linadex dalam lelah,
dan aku tahu, malam itu ia telah berjalan, terlalu jauh, begitu jauh
untuk kembali dalam pelukan.

Kakakku,
tubuhnya pernah menjadi taman yang penuh kehidupan,
tapi ketika sel-sel itu menyelinap ke dalam perutnya,
mereka menggali akar yang tak terlihat,
menembus jauh ke dalam,
hingga ususnya menjadi puing-puing yang tak terselamatkan.
Ia berjuang sampai akhir,
tetapi langit memanggilnya lebih dulu.
Aku ingat setiap langkahnya, bagaimana ia tersenyum
saat radioterapi menyinari tubuhnya,
namun di belakang mata itu, ada kepedihan yang tak ia biarkan tampak.
 
Bibi,
dia yang lembut,  selalu merengkuhku dalam pelukannya,
Aku melihat bagaimana badai dalam tubuhnya perlahan membakar,
dari dada hingga hatinya
Tentakel itu merambat, mencengkram, mencari tempat dimana jiwanya bisa dibungkam.
Aku tahu, dalam setiap nafasnya, ada lelah yang ia sembunyikan,
hingga ginjalnya tak lagi sanggup bertahan,
dan hidup menyerah pada takdir yang tak bisa diubah.
 
Sepupuku,
yang suaranya dulu seperti angin yang membawa tawa,
sekarang hilang ditelan senyap.
Di tenggorokannya, ada sesuatu yang tumbuh dalam diam,
menghancurkan nafasnya perlahan.
Aku tahu, angin itu takkan kembali,
hanya meninggalkan jejak debu yang tak kasat mata.

Dalam tubuh ini, tersimpan keheningan yang panjang,
aku menunggu hari-hari dengan tenang
seperti embun di pagi buta, yang tahu bahwa matahari akan datang,
meski tak tahu kapan.
Tak ada kecemasan dalam hatiku, hanya pertemuan yang belum tiba,
dimana aku menerima perjalanan ini sebagai bagian dari perjalanan yang lebih luas.
Aku berdiri di tengah badai dengan tangan terbuka,
bukan untuk melawan, tapi untuk berkawan
 merasakan angin, dan berjalan dalam diam dan keyakinan
 
Aku melukis bayangan mereka di atas kanvas kosong,
garis-garis hitam dan putih,
seperti bayang di antara cahaya dan kegelapan,
ini adalah  cara untuk membuat mereka tetap hidup,
setidaknya di dalam ingatanku.
Setiap sapuan kuas adalah doa yang tersembunyi,
dan dalam setiap tarikan garis,
adalah  harapan yang kupendam.
 
Ada saat di mana aku memanggil bayang-bayang menjadi kata,
mengikat angin dalam baris-baris sunyi,
mencari arti dalam tarian tinta di atas halaman kosong.
Setiap kata yang terucap di sana
adalah daun jatuh yang membawa beban dari pohon,
ringan, namun bermakna.

Dalam keheningan itu, aku berbicara pada diriku sendiri,
mencari arti yang tak terucapkan,
dan jawaban yang tersembunyi di balik aksara.
 
Di antara semua yang hilang,
aku ingin tetap bertahan.
Seperti pohon yang menolak tumbang meski akarnya terkoyak,
seperti laut yang terus mengalir meski pantainya menjauh.
Aku tak tahu kapan badai ini akan reda,
namun aku tahu, setiap langkah yang kuambil,
adalah jalan pulang .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun